Langsung ke konten utama

Berdoa

02.50
Tulisan ini dimulai sebab hujan turun.

Saya terbangun ke sekian kali di malam-malam yang tidak berguna. Beberapa bulan lalu saya habiskan waktu dini hari untuk membaca dan berdoa. Barangkali keteguhan saya sedang beristirahat. Malam ini saya terbangun lagi.

Saya sampai di paragraf ini ketika jendela kamar saya di tutup dari luar. Padahal saya sengaja membiarkannya tetap terbuka. 

Berdoa. Saya punya ikan kesayangan yang bisa bicara. Kemarin malam saya bilang padanya, "aku tidak pernah berdoa tiap menjelang tahun baru masehi. Tapi di akhir tahun ini aku sungguh berharap tahun depan segalanya akan membaik."

Saya ngeri juga membayangkan rincian dari 'segalanya'. Sebab teramat menyedihkanlah banyak hal dalam pengalaman saya tahun ini. Tapi barangkali Tuhan berbaik hati menutup tiap-tiap yang buruk dengan tiap-tiap yang bermanfaat. Tidak luput satu pun.

Si ikan membalas saya, "ya itulah yang baik. Doa."

Dia sebagian kebaikan baru yang saya dapat setelah pelayaran laut Grandline ini.

Tuhan, yang turun langsung ke bumi, yang menjadikan hujan mustajabah, yang tidak menolak permintaan, aku minta kebaikan untukku dan segalanya.

03.03
Hujan deras Surabaya.

Saya sedang alergi. Saya tidak sedang alergi tapi ingin menulis begitu. Saya membayangkan tahun ini penuh dengan virus yang bandel. Berulang kali saya menyembuhkan diri, beberapa jenis virus menyerang kembali. Menular dari orang lain. Ah, saya ingin mencintai orang lain. Ingin mencintai semua orang. Sebab seseorang tidak mau saya cintai. Saya ingin berdoa buatnya. --

Tapi barangkali kita tidak perlu berdoa, harapan dalam hati kita ini punya gelombang bunyinya sendiri. Yang sunyi. Yang cuma didengar oleh Yang Berada di Tempat Tertinggi. Halah. Berdoa ya berdoa saja.

03.05
Sampai ketemu secepatnya.

2019

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...