Langsung ke konten utama

Bukankah Surat Cinta Ini Ditulis ke Arah Siapa Saja?*

Seorang laki-laki mengajak saya menyanyikan puisi.

"Kamu hafal "Surat Cinta"?"
Saya menggeleng. Dalam kondisi  setengah sehat begini bagaimana bisa saya menyanyikan "Surat Cinta". Apalagi surat cinta yang ditujukan kepada siapa saja. Ah.

Kami memilih puisi lain. Sambil menyanyi saya melihat langit, mendung badai. Mendadak dada saya gemetar. Kami tengah check sound untuk keperluan sebuah festival. Saya membatin, kita akan merayakan sesuatu di tengah hujan.

Sesuatu dengan efek italik. Sebab sejujurnya saya menghilangkan diri beberapa waktu ini. Sebab sekarang saya sedang berusaha menghadirkan diri lagi.

Saya sedang tidak tertarik pada keramaian jenis apapun. Tapi karena kalau dirunut festival ini bagian buah pohon kenakalan saya, saya memilih prihatin. Dalam kondisi prihatin itulah saya menyanyi. Tapi ya tentu saja menyanyikan "Surat Cinta" memberi gangguan tertentu pada udara yang melintas dari hidung ke paru-paru saya.

Setelah beberapa judul puisi, laki-laki ini ngeyel juga. Ia menyodorkan smartphone-nya mengisyaratkan saya menyimak catatan di layar:

bukankah surat cinta ini ditulis 
ditulis ke arah siapa saja
seperti hujan yang jatuh ritmis 
menyentuh arah siapa saja
...


Saya tidak bisa mengelak. Saya menyanyi. Tidak berani melihat langit.

Di akhir puisi, aneh, saya merasa harum. Seperti bunga tanjung. Lalu sesaat setelah saya turun panggung dari check sound yang dipanjang-panjangkan, hujan turun.

Orang-orang tetap memulai festivalnya. Saya sibuk sendiri. Bukan menyanyi. Bukan juga menulis surat cinta. Hanya wira-wiri biar kelihatan kerja. Banyak juga yang datang. Saya wira-wiri sambil memperhatikan wajah mereka. Orang-orang saling bicara, memberi dan menerima senyum, menyapa yang lama dan yang baru. Saya juga: lama dan baru. Dan prihatin tentu saja. Apalagi setelah menyanyikan "Surat Cinta". Di kepala saya masih berputar puisi itu. Di festival itu masih berputar saya mencari yang lama dan yang baru.

Seketika saya merasa berhasil menjadi masalah bagi orang lain. Di panggung beberapa orang bicara, menafsirkan buah pohon kenakalan saya. Masakah saya tidak menunjukkan kesantunan?

Orang-orang bermain musik. Mengejar maksud saya. Masakah saya tidak memiliki penghargaan? Saya sedang menulis surat cinta bagi semua yang hadir di festival itu.

Hujan habis jatuh. Aspal hitam di area festival itu memantulkan cahaya lampu. Sungguh syahdunya. Barangkali ada yang bisa menghindar jatuh cinta di momen begitu. Aduh. Saya mana bisa. Dalam kondisi setengah sehat begini?

Waktu acara festival selesai, orang-orang tinggal. Masih bicara, saling memberi dan menerima senyum. Menyapa yang lama dan yang baru. Sepasang teman bertemu. Menawar kembali yang sudah lewat. Orang-orang lama dan orang-orang baru, bertemu. Seorang murid dan guru gambar sekolah dasarnya mengenang warna pertama yang dipulaskan di atas kepala. Ah, saya melihat warna biru itu. Sejuk sekali. Seorang pengagum rahasia dan penyair favoritnya. Memberi penghormatan buat kata-kata. Ah. Aspal kota basah, memantulkan ingatan kita.

Lalu puisi "Surat Cinta" mengalir dari kepala ke mulut saya lagi. Bukankah surat cinta ini ditulis, ditulis, ke arah siapa saja, seperti hujan yang jatuh ritmis menyentuh arah siapa saja..

Barangkali memang cinta adalah untuk siapa saja. Orang-orang baru, orang-orang lama. Saya ingin menulis surat cinta buat satu orang saja. Tapi, apa daya, surat cinta ini berkisah melintas lembar bumi yang fana. Cinta ada ke arah siapa saja. Siapa saja. Puisi itu masih berputar di kepala saya. Cinta buat siapa saja. Seperti misalnya... 

Masih berputar di kepala saya. Saya layak prihatin.

2019

*Diambil dari puisi "Surat Cinta" karya Goenawan Mohamad


Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...