Langsung ke konten utama

Catatan Penjurian Lomba Cerpen Nasional DK-Surabaya 2019 - Urbanhype* (1)



*Catatan penjurian 1 ini ditulis oleh Budi Darma sebagai Ketua Juri LCN DKS 2019 - Urbanhype

Dalam sebuah diskusi tidak resmi beberapa tahun yang lalu, disimpulkan bahwa kehidupan masyarakat urban ada kalanya mirip kehidupan Mickey Mouse. Kerja Mickey Mouse adalah melompat-lompat, lari ke sana ke mari, bersembunyi di tempat ini dan itu, lari lagi, melompat-lompat lagi, tanpa henti. Ada kesan bahwa Mickey Mouse melompat-lompat demi kepentingan melompat-lompat itu sendiri, lari ke sana ke mari demi kepentingan lari ke sana dan ke mari itu sendiri, dan bersembunyi tidak lain adalah demi kepentingan bersembunyi itu sendiri. Semuanya boleh dikatakan tanpa makna, dan inilah yang dinamakan absurditas, hidup mengulang-ulang hal-hal sama demi kepentingan mengulang-ulang itu sendiri.

Kalau kita mereprentasikan diri kita sebagai Mickey Mouse, apakah benar bahwa aktivitas kita sehari-hari pada hakikatnya hanya mengulang-ulang aktivitas yang sama? Dengan kata lain, benarkah kita terbelenggu oleh rutinitas yang itu-itu saja? Kalau benar, apakah rutinitas itu mempunyai makna, ataukah tidak mempunyai makna, dan karena itu menjadi kesia-sian belaka? Mungkin tidak benar, mungkin juga tidak salah, karena segala sesuatu pasti dikondisikan oleh kekuatan tertentu, yaitu kondisi urban yang berbeda dengan kondisi rural.

Dalam perkembangan jaman, sementara itu, muncullah istilah “urban-hipe” untuk mengisyaratkan, bahwa kehidupan urban makin lama makin dipenuhi aktivitas, dan makin lama jumlah penduduknya makin banyak. Istilah ini juga menyiratkan, bahwa aktivitas dalam kehidupan rural makin menipis, sebab sebagian besar aktivitas dengan deras dialirkan ke kota-kota besar.

Jumlah kelahiran tidak seimbang dengan jumlah mortalitas, dan karena itu, aktivitas di kota-kota besar didominasi oleh generasi milenial. Kota-kota besar seolah-olah menjadi milik generasi mileneal, dan karena jumlah generasi mileneal tumbuh dengan cepat, maka kehidupan milenial dipenuhi pula oleh kompetisi. Mereka yang mampu memanfaatkan fasilitas urban menjadi pemenang, dan mereka yang tidak mampu memanfaatkan fasiltas urban menjadi underdog. Kendati pengertian “underdog” pada umumnya dikaitkan dengan harta, yaitu orang melarat adalah underdog, sebetulnya “underdog” bisa juga berkaitan dengan kegagalan. Ada underdog dalam usaha untuk menjadi pengarang, ada underdog dalam pertarungan memperoleh pacar, ada pula underdog dalam melawan hawa nafsunya sendiri, yang semuanya berakhir pada kekalahan.

Memang benar bahwa orang-orang tua mempunyai peran juga dalam kompetisi di kota-kota besar, namun pada hakikatnya para pemain utama dalam kompetisi itu tidak lain adalah kaum milenial. Mereka berjuang untuk menjadi pemenang dalam pertarungan “the survival of the fittest,” dan, mau tidak mau, berbagai aktivitas pun dilakukan untuk merebut kemenangan.

Kemenangan dalam pertarungan tidak selamanya ditentukan oleh upaya untuk menang, tapi juga oleh nasib baik atau nasib buruk. Menang karena nasib baik, dan kalah karena nasib tidak baik di mana-mana terjadi, termasuk di kota-kota besar. Ada yang dilahirkan untuk kalah, ada pula yang dilahirkan untuk menang. Dobol dalam cerita pendek “Dobol,” misalnya, nyaris tidak mungkin memperbaiki kehidupannya karena kondisi fisiknya dan juga asal-usulnya yang tidak jelas. Dia dilahirkan, dengan demikian, bukan untuk menang, tapi untuk kalah. Joe dan Clara, sementara itu, berjuang untuk menemukan identitas baru di kota besar dan berhasil, bukan semata-mata karena perjuangannya, tapi juga karena nasib baik mereka.

Sementara itu, pertarungan tidak selamanya terbuka, dan juga tidak selamanya dalam bentuk nyata. Karena itu ada pertarungan yang tampak bukan sebagai pertarungan, tapi tampak sebagai aktivitas dalam rutinitas sehari-hari. Mengapa ada berbagai macam pertarungan, tidak lain karena ada pertarungan vulgar dan pertarungan yang tidak vulgar. Pertarungan vulgar tampak jelas, misalnya, dalam cerita pendek “Etika Merebut Harta Mertua.”

Berkat kemajuan tekhnologi, mayoritas generasi milenial tidak mungkin melepaskan diri dari gawai. Dan gawai hanyalah perkakas, dan karena itu keberuntungan atau kesialan yang didatangkan oleh gawai tidak ditentukan oleh gawainya, tapi oleh generasi milenial sebagai operatornya. Jangan heran, dengan demikian, apabila pertarungan melalui gawai sebagai media, mampu menjadikan generasi milenial sebagai pemenang, dan mampu pula menjadikan generasi milenial sebagai pihak yang terkalahkan.

Lomba penulisan cerita pendek ini diselenggarakan, antara lain, untuk melhat respons para pengarang, terhadap kehidupan “urban-hipe,” dan Dewan Juri berkesimpulan, bahwa para pengarang milineal mempunyai sensivitas yang bagus, dan karena itu mereka mampu mengungkapkan respons mereka dalam bentuk cerita pendek. Ini dari soal tema. Lalu bagaimana mengenai masalah tekhnis penulisan mereka? Mayoritas mereka mampu membangun struktur cerita yang bagus, antara lain dalam “Cityscape,” dan bahasa yang cerdas, sebagaimana yang tampak pula dalam cerita pendek yang sama, yaitu “Cityscape.” Mayoritas mereka juga mempunyai kemampuan yang bagus untuk menciptakan tekhnik narasi yang baik, sebagaimana yang tampak dalam cerpen “Angin Subuh.”

Kembali ke pertanyaan awal, kalau kita merepresentasikan diri kita sebagai Mickey Mouse, apakah semua aktivitas para tokoh dalam serangkaian cerita pendek ini merupakan pengulangan-pengulangan tanpa makna, atau punya makna? Tentu saja, jawabannya harus berkaitan dengan tema serangkaian cerita pendek ini, yaitu “urban-hive.” Ibaratnya, kepala sama hitam, akan tetapi pikiran sekian banyak pembaca bisa berbeda-beda.

2019

Klik>> Catatan Penjurian 2

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...