Langsung ke konten utama

Titik Jenuh Pandemi

Beberapa teman mengeluh tentang keinginan untuk menyendiri sementara  sebenarnya selama masa pandemi ini kita bisa dibilang jauh dari interaksi. Tapi toh saya juga merasa begitu. Ingin menjadi orang asing sehari dua hari. Tanpa hubungan-hubungan serius. Tanpa label-label identitas.  

Barangkali ini adalah momen di mana beberapa orang termasuk saya memasuki titik jenuh (kompromi) pandemi. Melakukan atau tidak melakukan apapun kita dalam beberapa bulan ini, energi kita ternyata dikuras oleh sosok yang tidak akrab. Sebab bagaimanapun juga, sesuatu berubah. Bahwa penyair favorit kita telah tiada misalnya. Dan pertanyaan-pertanyaan mesti kita relakan jadi gema tanpa bidang pantul.

Namun seorang teman mengusik tentang hakikat energi semalam, membuat saya membayangkan kebingungan, kecemasan, ketakmengertian adalah materi yang kita lepas. Adalah energi. Dalam beberapa waktu belakangan ini, ke mana semua itu bergerak? 

Berbagai perubahan dan anomali seperti butir manik yang dirangkai tergesa. Tusuk, sulam. Kalung sepanjang apa yang hendak dibikin? Dan setelah jadi, apakah kita punya nilai tertentu untuk memakainya? Layakkah? Bahkan cuaca demikian resah dan sejumlah peristiwa menyudutkan kita untuk menekan tombol autopilot: sembarang! Berapa kali kamu kehilangan kendali selama pandemi ini? 

Saya? Saya tidak berkendara ke mana pun selama pandemi ini. Dan fakta bahwa ternyata duduk diam sebagai pengalaman baru pun membuat saya tak betah, toh diam-diam membisikkan harapan semoga pandemi ini segera berakhir. Semoga sebuah arah akhirnya tampak. 

2020


Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...