Langsung ke konten utama

Inner Child - Hari Anak Nasional

Selama Hari Anak Nasional! (Seandainya itu berarti sesuatu)

Inner child, jiwa kanak-kanak dalam diri kita. Seberapa jauh orang dewasa merenungkan sisi anak-anak dalam dirinya. Sosok yang memang pernah ada dan hari ini menjadi figur itu: usia, cita-cita, visi, tanggung jawab, pengetahuan, kebimbangan, pengalaman, yang memberi jarak antara hari ini dan masa lalu. Kita hari ini.

Inner child bukanlah topik asing bagi mereka yang sering membaca tentang informasi psikologis dan spiritual. Bagian dari usaha mengenali diri dan keseimbangan jiwa. Namun barangkali masih kurang dari 30% atau bahkan 20% orang Indonesia mengenal konsep itu. Apalagi merenungkannya.

Barangkali ada yang kebetulan membaca tulisan ini, tak ada salahnya memahami apa itu jiwa kanak-kanak dalam diri kita. Secara sederhana, ia adalah diri kita sendiri, yang berasal dari masa lalu. Sosok dengan impian dan semangat murni. Sebelum terpolusi oleh semua itu: usia, cita-cita, visi, tanggung jawab, pengetahuan, kebimbangan, pengalaman. 

Jarang orang menggali dalam dirinya hingga menemukan jawaban bahwa di usia dewasa ini keluguan itu perlu. Ia ternyata adalah titik sulut emosi dan visi-visi lain yang berguna pula di hari ini. Sebutlah: kesungguhan, optimisme, ketulusan, kelemahan, penghargaan pada mimpi, harapan, segala yang kita butuhkan untuk bergerak maju. Tanpa mengkhawatirkan apa yang ada di kanan dan kiri. Apa yang di depan dan belakang. 

Persis seperti seorang anak yang bahagia saat baru pertama bisa berdiri dengan kedua kakinya. Betapa buru-buru untuk berlari. Bahagia karena membayangkan mampu berlari. Tanpa mencemaskan apakah punya kemungkinan untuk berlari.

Ayo. Ayo bergerak. Ayo berlari seperti seorang anak yang baru saja bisa berdiri !

2020

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...