Langsung ke konten utama

Seekor Kupu-kupu dalam Puisi


: penyair wahyu

Aku membaca puisi di kegelapan malam hari, aku membaca puisi di tengah orang-orang sibuk, tapi suara dan kecerdasanku bagai radio 1940, pasar tidak bergerak dalam kata-kataku, dibunuh di atas kertas, seperti vampir, aku menghisapi darah dan memadamkan lampu

Orang-orang bermimpi tentang polusi lagi, tentang udara yang bisa dihirup meski belum dicuci, sementara di situ, dua ratus juta virus seperti kembang transparan yang kaurawat dengan rajin, apakah aku salah satu kupu-kupu di situ, dunia telah menjadi taman favoritmu untuk menanam segalanya, dendam, hutan-hutan untuk dilelang, bayi-bayi, jalan ribuan kilometer  ke masa depan untuk dihapus

Kenapa tidak kau bawa aku juga kalau kau memang menuju ke tempat yang tidak ada, instagram dan twitter membawa orang-orang ke kamar mandiku, hanya untuk berbagi sabun dan odol dengan kesepian, dan jalan-jalan ke luar angkasa juga dipangkas, untuk menghemat pikiran, orang-orang menghias koran dengan cuaca buruk, anak-anak dengan senapan dan bekas peluru, negara yang gagal menyelamatkan nyawamu setiap hari

Atau aku harus jadi kupu-kupu dalam puisi itu, yang putih bagai kanvas, di dalam setiap kata, setiap jeda, setiap kekosongan, seorang pelukis selalu menggoreskan kuas raksasanya, angin, hujan, dan daun gugur diperlambat, bagai lagu tidur, tapi bulan dan matahari yang kuimpikan itu, tetap jauh?


2020




Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...