Seorang gadis kecil lari keluar masuk sebuah rumah. Teman-temannya di halaman belakang, sebuah latar penuh guguran daun jambu biji. Ada dua ayunan dari ban bekas tergantung di dahan jambu yang paling kokoh. Di satu sudut, guntingan sisa bahan kulit bertumpuk dalam karung. Anak-anak itu sering membantingkan tubuh di sana. Menganggapnya sebagai sofa.
Ia berlari, lewat sisi kiri bangunan rumah itu. Melewati para pekerja yang sedang serius memukul-pukulkan palu pada balokan kayu berbentuk kaki. Tumpukan lembaran kulit di sana-sini. Guntingan pola. Bau lem yang menggugah candu.
Dari sisi dalam rumah sayup radio memutar campur sari. "..dah.. dadah, sayang ..dah... slamat jalan.."
Ia keluar, menyeberang ke rumah depan.
"Ojo mblayu-mblayu nang njero omah," seorang ibu tua sambil menumbuk bumbu menegurnya.
Ia meneguk segelas air.
"Opo wong aku dulin nang mburi, kok. Mek mulih ngombe."
Ia keluar lagi, menyeberang menuju rumah dengan tumpukan lembaran kulit. Melewati para pekerja. Ia menyerbu pohon jambu. Tangannya memegang pokok pohon lalu menekan ke bawah, mengangkat tubuhnya naik. Kakinya merayapi dahan. Naik lagi. Ia sampai di pangkal cecabang. Sebuah lekuk yang pas untuk tubuh kecilnya duduk di situ.
Teman-temannya di atap, berseru-seru dalam percakapan tentang pertarungan layang-layang. Di sela rerimbun daun jambu biji itu, ia menengadah ke langit, menghadapi layang-layang temannya yang limbung ke kanan limbung ke kiri.
"..rasane koyo wong kelangan.. kowe ninggal aku.. ra kroso netes luh ning pipiku.." suara radio sangat lirih dari balik punggungnya.
Ia menyandarkan kepala ke dahan pohon.
Diam-diam mulutnya ikut bernyanyi bersama sayup radio.
---
Selasa, 5 Mei 2020
Mengenang Didi Kempot di suatu siang, di jam-jam yang sama, 20 tahun yang lalu, atau lebih lama lagi.
Semoga kehidupan memberi jejak yang layak. Sugeng tindak, tiyang jaler.
Foto: pohon jambu biji depan kamar.
Komentar
Posting Komentar