Langsung ke konten utama

Memutar Ingatan 20 Tahun: Dadah Sayang


Seorang gadis kecil lari keluar masuk sebuah rumah. Teman-temannya di halaman belakang, sebuah latar penuh guguran daun jambu biji. Ada dua ayunan dari ban bekas tergantung di dahan jambu yang paling kokoh. Di satu sudut, guntingan sisa bahan kulit bertumpuk dalam karung. Anak-anak itu sering membantingkan tubuh di sana. Menganggapnya sebagai sofa.

Ia berlari, lewat sisi kiri bangunan rumah itu. Melewati para pekerja yang sedang serius memukul-pukulkan palu pada balokan kayu  berbentuk kaki. Tumpukan lembaran kulit di sana-sini. Guntingan pola. Bau lem yang menggugah candu.

Dari sisi dalam rumah sayup radio memutar campur sari. "..dah.. dadah, sayang ..dah... slamat jalan.."

Ia keluar, menyeberang ke rumah depan.

"Ojo mblayu-mblayu nang njero omah,"  seorang ibu tua sambil menumbuk bumbu menegurnya.

Ia meneguk segelas air.

"Opo wong aku dulin nang mburi, kok. Mek mulih ngombe."

Ia keluar lagi, menyeberang menuju rumah dengan tumpukan lembaran kulit. Melewati para pekerja. Ia menyerbu pohon jambu. Tangannya memegang pokok pohon lalu menekan ke bawah, mengangkat tubuhnya naik. Kakinya merayapi dahan. Naik lagi. Ia sampai di pangkal cecabang. Sebuah lekuk yang pas untuk tubuh kecilnya duduk di situ.

Teman-temannya di atap, berseru-seru dalam percakapan tentang pertarungan layang-layang. Di sela rerimbun daun jambu biji itu, ia menengadah ke langit, menghadapi layang-layang temannya yang limbung ke kanan limbung ke kiri.

 "..rasane koyo wong kelangan.. kowe ninggal aku.. ra kroso netes luh ning pipiku.." suara radio sangat lirih dari balik punggungnya.

Ia menyandarkan kepala ke dahan pohon.
Diam-diam mulutnya ikut bernyanyi bersama sayup radio.


---

Selasa, 5 Mei 2020
Mengenang Didi Kempot di suatu siang, di jam-jam yang sama, 20 tahun yang lalu, atau lebih lama lagi.

Semoga kehidupan memberi jejak yang layak. Sugeng tindak, tiyang jaler.

Foto: pohon jambu biji depan kamar.

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...