Langsung ke konten utama

Hati yang Baik

Keikhlasan, ketulusan, penerimaan, kerelaan, keesaan, cinta, pemberian, rasa percaya, kebaikan, penyerahan, semua, barangkali, sudah saya pelajari dalam dua puluh lima tahun ini, tetapi mendadak semua pemahaman dan pengetahuan itu hilang. Tuhan, barangkali, memberi saya kesempatan untuk menemukan ulang segalanya.

Saya mengingat dengan baik tetapi hakikat dari ingatan itu lenyap entah ke mana. Seperti saya melihat seseorang yang memberi dengan tangan kanannya, lalu karena sedemikian ingin agar tangan kirinya tidak perlu tahu tentang pemberian itu, ia memotong tangan kirinya. Demi menjaga kemurnian pemberiaannya. Saya ingat kebenaran akan pertimbangan pilihannya itu tetapi saya tidak mampu lagi menyelami rasa sakit kehilangan tangan kiri.

Lalu Tuhan memberi saya kesempatan untuk menemukan jawaban dari ingatan-ingatan yang cacat itu. Dan dari hari ke hari saya mengumpulkan kepingan. Saya berpikir bagaimana mungkin saya sanggup memotong tangan kiri saya sendiri. Tetapi ternyata dunia mengharuskan kebenaran itu. Saya tidak mungkin sanggup menampung rasa sakit yang demikian.

Mempelajari segalanya lagi, dengan jiwa saya yang kini sepenuhnya terbuka. Saya diantar untuk merasakan sakitnya keikhlasan. Dan bahwa ternyata itu sangat membahagiakan: merasakan sakitnya kerelaan dan penerimaan. Mempercayai lagi bahwa cinta itu ada meski entah ada di mana. Saya sudah memutuskan memotong tangan kiri saya. Dan betapa bahagianya, kerelaan untuk menanggung rasa sakit itu. Saya tidak menyesalinya, bahwa kebaikan seharusnya dipertahankan bagaimanapun juga.

Satu persatu ingatan yang cacat itu akan kembali saya temukan. Barangkali saya harus menjalani dua puluh lima tahun lagi untuk melengkapinya. Tetapi saya bersungguh agar kesempatan yang Tuhan beri tidaklah sia-sia. Entah apakah saya akan berhasil menemukan semuanya atau tidak.

"Hati yang baik", hati yang sebenar-benarnya baik, ternyata hal itu sulit untuk dirumuskan. Seseorang pernah berdalih, "apa itu kebaikan? Apakah kebaikan itu benar-benar ada?" Saat ini saya memahami mengapa baginya sulit untuk mengerti kebaikan itu apa. Sebab perbuatan dan tindakan kita menjalin rantai yang menjulur di luar kedua tangan ini. Dan suatu hari, apa yang kita harapkan sebagai kebaikan itu akan melukai seseorang tanpa sepengetahuan kita. Lalu keesokan harinya kita akan tergelincir kecewa pada kedua tangan kita sendiri. Tercengang dan menyesali kebaikan yang telah terjadi. Apakah penyesalan hari itu adalah kebaikan? Apakah luka yang timbul olehnya tidak mengubahnya?

Hati yang sebenar-benarnya baik, seperti apakah? Kita melakukan kebaikan-kebaikan kecil untuk orang-orang  yang kita kasihi tetapi menutup mata dan telinga pada yang lain. Berdalih di depan Tuhan, "inilah kemampuanku." Apakah dalam usaha kita itu kejujuran dan ketulusan masih murni? Sejauh apa Tuhan menugaskan kita untuk mendengar, melihat, memberi? Berlari, mengejar peluang untuk menjadi baik? Dengan usaha-usaha yang kecil, kesadaran yang terbatas dan terpenjara, seberapa jauh kita mengakui bahwa hati kita ternyata kerdil dan pengecut?

Bahwa ternyata kita tidak lebih dari seorang pemalas yang dangkal dan tamak? Tamak akan "kecukupan". Tamak akan "usaha yang tak seberapa". Lalu karenanya kita berhak merasa memiliki hati yang baik. Seberapa sanggup kita mengenali tabir berlapis-lapis itu?

Saya sedemikian terhantui oleh pikiran seluruh dunia di pundak saya. Apakah saya akan menatap Tuhan dengan pandangan ini? Seseorang yang diam saja mengetahui kesedihan, kebodohan, kelaparan, bagai lalat yang merubungi seluruh manusia. Di dalam kamar yang baik, saya menutup telinga dan mata dari pengetahuan itu. Merasa bahwa saya bukan orang baik. Sama sekali bukan. Seratus persen bukan.

Sebab barangkali, manusia yang sebenar-benarnya baik akan mengigau panjang dalam tidurnya oleh kesedihan, kebodohan dan kelaparan orang lain. Tetapi barangkali juga hati yang sebenar-benarnya baik tidak perlu begitu sebab banyak orang baik yang tidak begitu. Dan seandainya saya memiliki pikiran itu, barangkali seluruh dunia tidak juga menyebuti saya sebagai orang yang sebenar-benarnya baik. Barangkali dunia akan menasihati saya soal menjadi waras, menenangkan dan menyelamatkan dirimu sendiri.

Apa yang mungkin dirasakan oleh hati yang sebenar-benarnya baik di saat ini?


2020


Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...