Kesedihan, tidak pernah saya selami demikian dingin dan putih. Beberapa waktu lalu seorang teman merekomendasikan film Norwegian Wood (2010) garapan sutradara Tran Anh Hung. Sebuah pusaran ke dasar laut yang penuh dengan salju, hutan beku, dan jalan-jalan sepi. Dahi saya mengernyit di menit akhir saat Watanabe, tokoh utama pria, memukul-pukulkan tubuhnya ke tebing karang. Menahan kesakitan luka yang tidak kelihatan.
Ada film lain, dengan dingin dan metrum yang mirip, A Man and a Woman (2016), salah satu film favorit saya. Meski bukan film yang wah, saya kadung jatuh cinta pada cara sutradara membatasi konflik perselingkuhan dalam film itu. Juga pada bagian akhirnya. Tempo yang tidak membuat saya kecewa. Saya bahkan mengingat lagu latarnya hingga hari ini, du dudu dudu, dudu dudu...
Tapi beberapa peristiwa menjelmakan Norwegian Wood nyata di depan saya. Hari ini saya katakan, kesedihan Watanabe, gunung beku yang ia bentur-benturkan itu, sangat saya pahami. Kesedihan yang justru berasal dari labirin hati orang lain. Kesedihan karena bayang-bayang kegagalan sendiri untuk dapat menyelamatkan seseorang di laut itu. Saya pahami.
Mata, telinga, bibir saya ini, tidak sanggup menanggung kesedihan orang lain. Kesedihan seluruh dunia. Saya teringat Von Gogh yang mengiris telinganya sebagai bingkisan buat sang kekasih. Betapa romantisnya hadiah yang dia persembahkan itu. Keinginan yang sama yang saya miliki hari ini, agar orang terkasih mendengar dunia ini dengan telinga saya, melihat dengan mata saya.
Saya juga menginginkannya, mendapat hadiah sebesar itu dari seseorang yang bersedih, demi seluruh dunia. Sebuah bingkisan dari Von Gogh, agar saya tidak menanggung dingin dan putihnya hutan Norwegian Wood sendiri. Agar saya tidak perlu seperti Watanabe, membawa luka yang tidak kelihatan itu ke sisi laut, berharap debur ombak membawa segalanya hanyut.
2019
Ada film lain, dengan dingin dan metrum yang mirip, A Man and a Woman (2016), salah satu film favorit saya. Meski bukan film yang wah, saya kadung jatuh cinta pada cara sutradara membatasi konflik perselingkuhan dalam film itu. Juga pada bagian akhirnya. Tempo yang tidak membuat saya kecewa. Saya bahkan mengingat lagu latarnya hingga hari ini, du dudu dudu, dudu dudu...
Tapi beberapa peristiwa menjelmakan Norwegian Wood nyata di depan saya. Hari ini saya katakan, kesedihan Watanabe, gunung beku yang ia bentur-benturkan itu, sangat saya pahami. Kesedihan yang justru berasal dari labirin hati orang lain. Kesedihan karena bayang-bayang kegagalan sendiri untuk dapat menyelamatkan seseorang di laut itu. Saya pahami.
Mata, telinga, bibir saya ini, tidak sanggup menanggung kesedihan orang lain. Kesedihan seluruh dunia. Saya teringat Von Gogh yang mengiris telinganya sebagai bingkisan buat sang kekasih. Betapa romantisnya hadiah yang dia persembahkan itu. Keinginan yang sama yang saya miliki hari ini, agar orang terkasih mendengar dunia ini dengan telinga saya, melihat dengan mata saya.
Saya juga menginginkannya, mendapat hadiah sebesar itu dari seseorang yang bersedih, demi seluruh dunia. Sebuah bingkisan dari Von Gogh, agar saya tidak menanggung dingin dan putihnya hutan Norwegian Wood sendiri. Agar saya tidak perlu seperti Watanabe, membawa luka yang tidak kelihatan itu ke sisi laut, berharap debur ombak membawa segalanya hanyut.
2019
Komentar
Posting Komentar