Kalau mungkin kau berada di bawah langit, gerakan awan yang menarik angin ke tanganmu, dan daun-daun yang bicara besertanya, adalah tanda kerinduanku yang diam, sekian lama terabai di udara. Ia telah demikian sabar, dilelehkan dari waktu ke waktu. Ia adalah musim yang berjalan mencari sebuah kota. Tanpa arakan. Sebab dunia meninggalkannya seperti seorang anak yatim. Kalau mungkin di bawah langit ini, kau memandangnya suatu kali. Kita telah saling bertemu di situ, dan tidak saling mengenal nama dan asal. Dan barangkali tanpa sengaja aku meninggalkanmu dalam seribu pertanyaan.
Kekasihku, yang berdiam di mata angin, adakah kau dibimbangkan matahari? Terbatas oleh utara, selatan, timur, dan barat. Aku di sini, berjalan semakin dekat padamu dari seluruh penjuru. Bila mungkin kakimu diikat oleh ibu yang sama denganku, kita adalah jarak paling jauh yang tercatat di bumi. Tanah dan lautan yang juga melekat bersama dengan cinta kita: ada dan belum ada, kita telah membayangkannya sekian lama, demikian luasnya. Maka berjalanlah juga. Biarkan langkahmu memperpendek ketidaktahuan kita ini. Kau telah lebih dekat padaku. Meski dalam ketakterhinggaan yang jauh, biarkan bumi ikut meleleh seperti rinduku. Dan aku akan berjalan mengitari dunia ini sekali lagi sebab kita adalah jarak paling jauh yang tercatat oleh hari-hari.
Kalau mungkin kau ada di atas langit, pandanglah aku. Cintaku terjebak di dasar telaga yang keruh. Sementara aku telah mendayung perahu dari seberang ke seberang. Pandanglah aku, agar bisa kutangkap bayanganmu di air. Agar bisa kukenali rumahmu, segala yang berguguran di halamanmu. Dan bila tiba waktuku menyelam, menjumpaimu, akan kuhibahkan perahuku kepada kabut yang akan menelannya dengan cara yang lembut. Mengajaknya lebur seringan embun kakian bukit. Lalu di atas sana, di atas hidup, kita akan menghirup wanginya, bongkahan kayu yang basah oleh air mata.
Sementara dalam keyakinanku itu, seolah aku dengar suaramu menuntun. Bila malam ia menjelma gugus bintang yang tetap tanpa sangsi. Dan jiwa-jiwa dari dasar laut berenang ke permukaan, meneriakkan namamu seperti Kilip menangisi Rembulan. Tapi barangkali besok kau terbangun dan tiba-tiba di halamanmu telagaku telah menjelma, sementara kita masih sepasang orang asing di bumi, telah kutemui engkau dan tidak mengenal nama dan asalmu. Aku adalah halaman rumahmu, yang pagarnya daun rambat, yang setapaknya batu dingin. Sebab telah ribuan kali kau memanggilku dalam mimpi. Ribuan kali. Tapi tak bisa kusahut, sementara kita hanya sepasang kabut di lembah yang lain. Tapi aku telah terbangun dari tidur yang dekat dan akrab ini. Sementara jarak kita adalah rahasia paling sunyi. Berjalanlah, akan aku kitari bumi sekali lagi. Berjalanlah, sementara berganti hari demi hari.
Kekasihku, yang berdiam di mata angin, adakah kau dibimbangkan matahari? Terbatas oleh utara, selatan, timur, dan barat. Aku di sini, berjalan semakin dekat padamu dari seluruh penjuru. Bila mungkin kakimu diikat oleh ibu yang sama denganku, kita adalah jarak paling jauh yang tercatat di bumi. Tanah dan lautan yang juga melekat bersama dengan cinta kita: ada dan belum ada, kita telah membayangkannya sekian lama, demikian luasnya. Maka berjalanlah juga. Biarkan langkahmu memperpendek ketidaktahuan kita ini. Kau telah lebih dekat padaku. Meski dalam ketakterhinggaan yang jauh, biarkan bumi ikut meleleh seperti rinduku. Dan aku akan berjalan mengitari dunia ini sekali lagi sebab kita adalah jarak paling jauh yang tercatat oleh hari-hari.
Kalau mungkin kau ada di atas langit, pandanglah aku. Cintaku terjebak di dasar telaga yang keruh. Sementara aku telah mendayung perahu dari seberang ke seberang. Pandanglah aku, agar bisa kutangkap bayanganmu di air. Agar bisa kukenali rumahmu, segala yang berguguran di halamanmu. Dan bila tiba waktuku menyelam, menjumpaimu, akan kuhibahkan perahuku kepada kabut yang akan menelannya dengan cara yang lembut. Mengajaknya lebur seringan embun kakian bukit. Lalu di atas sana, di atas hidup, kita akan menghirup wanginya, bongkahan kayu yang basah oleh air mata.
Sementara dalam keyakinanku itu, seolah aku dengar suaramu menuntun. Bila malam ia menjelma gugus bintang yang tetap tanpa sangsi. Dan jiwa-jiwa dari dasar laut berenang ke permukaan, meneriakkan namamu seperti Kilip menangisi Rembulan. Tapi barangkali besok kau terbangun dan tiba-tiba di halamanmu telagaku telah menjelma, sementara kita masih sepasang orang asing di bumi, telah kutemui engkau dan tidak mengenal nama dan asalmu. Aku adalah halaman rumahmu, yang pagarnya daun rambat, yang setapaknya batu dingin. Sebab telah ribuan kali kau memanggilku dalam mimpi. Ribuan kali. Tapi tak bisa kusahut, sementara kita hanya sepasang kabut di lembah yang lain. Tapi aku telah terbangun dari tidur yang dekat dan akrab ini. Sementara jarak kita adalah rahasia paling sunyi. Berjalanlah, akan aku kitari bumi sekali lagi. Berjalanlah, sementara berganti hari demi hari.
Wow
BalasHapusZzzzz
Hapus