Langsung ke konten utama

Kepada Kekasihku yang Jauh

Kalau mungkin kau berada di bawah langit, gerakan awan yang menarik angin ke tanganmu, dan daun-daun yang bicara besertanya, adalah tanda kerinduanku yang diam, sekian lama terabai di udara. Ia telah demikian sabar, dilelehkan dari waktu ke waktu. Ia adalah musim yang berjalan mencari sebuah kota. Tanpa arakan. Sebab dunia meninggalkannya seperti seorang anak yatim. Kalau mungkin di bawah langit ini, kau memandangnya suatu kali. Kita telah saling bertemu di situ, dan tidak saling mengenal nama dan asal. Dan barangkali tanpa sengaja aku meninggalkanmu dalam seribu pertanyaan. 

Kekasihku, yang berdiam di mata angin, adakah kau dibimbangkan matahari? Terbatas oleh utara, selatan, timur, dan barat. Aku di sini, berjalan semakin dekat padamu dari seluruh penjuru. Bila mungkin kakimu diikat oleh ibu yang sama denganku, kita adalah jarak paling jauh yang tercatat di bumi. Tanah dan lautan yang juga melekat bersama dengan cinta kita: ada dan belum ada, kita telah membayangkannya sekian lama, demikian luasnya. Maka berjalanlah juga. Biarkan langkahmu memperpendek ketidaktahuan kita ini. Kau telah lebih dekat padaku. Meski dalam ketakterhinggaan yang jauh, biarkan bumi ikut meleleh seperti rinduku. Dan aku akan berjalan mengitari dunia ini sekali lagi sebab kita adalah jarak paling jauh yang tercatat oleh hari-hari.

Kalau mungkin kau ada di atas langit, pandanglah aku. Cintaku terjebak di dasar telaga yang keruh. Sementara aku telah mendayung perahu dari seberang ke seberang. Pandanglah aku, agar bisa kutangkap bayanganmu di air. Agar bisa kukenali rumahmu, segala yang berguguran di halamanmu. Dan bila tiba waktuku menyelam, menjumpaimu, akan kuhibahkan perahuku kepada kabut yang akan menelannya dengan cara yang lembut. Mengajaknya lebur seringan embun kakian bukit. Lalu di atas sana, di atas hidup, kita akan menghirup wanginya, bongkahan kayu yang basah oleh air mata.

Sementara dalam keyakinanku itu, seolah aku dengar suaramu menuntun. Bila malam ia menjelma gugus bintang yang tetap tanpa sangsi. Dan jiwa-jiwa dari dasar laut berenang ke permukaan, meneriakkan namamu seperti Kilip menangisi Rembulan. Tapi barangkali besok kau terbangun dan tiba-tiba di halamanmu telagaku telah menjelma, sementara kita masih sepasang orang asing di bumi, telah kutemui engkau dan tidak mengenal nama dan asalmu. Aku adalah halaman rumahmu, yang pagarnya daun rambat, yang setapaknya batu dingin. Sebab telah ribuan kali kau memanggilku dalam mimpi. Ribuan kali. Tapi tak bisa kusahut, sementara kita hanya sepasang kabut di lembah yang lain. Tapi aku telah terbangun dari tidur yang dekat dan akrab ini. Sementara jarak kita adalah rahasia paling sunyi. Berjalanlah, akan aku kitari bumi sekali lagi. Berjalanlah, sementara berganti hari demi hari.

Komentar

Posting Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...