"Aku bosan. Beri aku buku puisi yang menarik."
Tiba-tiba seorang laki-laki mengirim pesan begitu. Saya kirimkan beberapa buku digital buatnya. Dia lantas sambat,
"Aku tidak menulis dan jengah membaca."
Hmm. Kalimat yang akrab. Saya langsung sarankan agar ia mencari rekan membaca dan menulis. Ya, to the point saja. Saya paham betul betapa benar bahwa kita tidak sanggup sendirian meskipun puisi, faktanya, diketik dengan mandiri dan sunyi.
Dia malah ngeles. Dia bilang itu sulit. Ibarat mencari partner hidup.
Waduh! Sebenarnya, iya juga, sih...
Saya tawarkan agar memulai dari orang terdekatnya dulu. Pacar -mungkin. Dia layak mengusahakan agar kekasihnya menjadi rumah bagi sajak-sajaknya. Sebab saya pun menulis tidak bisa menepikan kebutuhan bahwa puisi saya butuh rumah untuk pulang. Butuh pembaca setia. Bahwa sangat menyiksa ketika orang terdekat kita ternyata tidak bisa menjadi wadah kerumitan yang selalu muru ini.
Kita butuh seseorang yang menghargai tulisan kita sebaik ia menghargai kita. Cukup satu saja. Agar kita tidak mati sepi sendiri - pura-pura baik-baik saja.
Seorang teman bilang, hubungan itu seperti rumah. Kamu pacaran berarti kamu ngontrak rumah. Kamu menikah dengan pacarmu, kamu membeli rumah yang kamu kontrak bertahun-tahun! Dan kalau sudah terlanjur beli, orang harus mengusahakan agar itu benar-benar menjadi rumah, bukan sekadar bangunan yang bisa ropak dimakan usia.
Rumah itu, buat kita yang penuh buih laut di kepala ini, harus punya kamar khusus untuk mengistirahatkan puisi. Kekasihmu, harus bisa jadi tempat puisimu menarik nafas dan minum mata air. Rumah bagi sajak-sajakmu. Dan, ya, di situlah, sulitnya.
Namun kalau bukan pada kekasih, setidaknya kita harus punya sahabat, ibu, ayah, siapapun, yang tidak perlu memahami apa yang ada di dasar laut ini. Cukup padanya kita boleh menginformasikan bahwa sedang ada badai, "aku tengah menjadi gunung api yang menahan sebuah letusan", "aku ingin menelan sebuah kapal", dan sebagainya. Sekadar menginformasikan bahwa ada yang tidak beres dalam puisiku.
Harus ada.
Atau kita akan mati sepi.
Sayangnya, berhubung saya juga belum memiliki rumah bagi puisi-puisi saya, saya jadi ragu untuk memaksakan pikiran ini. Saya tidak berbukti.
Apa yang pantas saya katakan pada seorang laki-laki yang pernah membangun jalan Daendels di rambut seseorang, yang kini sedang kehilangan gairah, dan menutup-nutupi bahwa dirinya tengah terlibat cinta?
Saya malah ikutan ngeles, "sebenarnya tidak sekompleks itu juga. Ini kan cuma soal menulis dan membaca." Saya sungguh ingin dia tetap semangat mencari rumah yang cocok.
"O, iya," katanya.
Duh, Jagat. Mudah-mudahan dia percaya.
2020
Tiba-tiba seorang laki-laki mengirim pesan begitu. Saya kirimkan beberapa buku digital buatnya. Dia lantas sambat,
"Aku tidak menulis dan jengah membaca."
Hmm. Kalimat yang akrab. Saya langsung sarankan agar ia mencari rekan membaca dan menulis. Ya, to the point saja. Saya paham betul betapa benar bahwa kita tidak sanggup sendirian meskipun puisi, faktanya, diketik dengan mandiri dan sunyi.
Dia malah ngeles. Dia bilang itu sulit. Ibarat mencari partner hidup.
Waduh! Sebenarnya, iya juga, sih...
Saya tawarkan agar memulai dari orang terdekatnya dulu. Pacar -mungkin. Dia layak mengusahakan agar kekasihnya menjadi rumah bagi sajak-sajaknya. Sebab saya pun menulis tidak bisa menepikan kebutuhan bahwa puisi saya butuh rumah untuk pulang. Butuh pembaca setia. Bahwa sangat menyiksa ketika orang terdekat kita ternyata tidak bisa menjadi wadah kerumitan yang selalu muru ini.
Kita butuh seseorang yang menghargai tulisan kita sebaik ia menghargai kita. Cukup satu saja. Agar kita tidak mati sepi sendiri - pura-pura baik-baik saja.
Seorang teman bilang, hubungan itu seperti rumah. Kamu pacaran berarti kamu ngontrak rumah. Kamu menikah dengan pacarmu, kamu membeli rumah yang kamu kontrak bertahun-tahun! Dan kalau sudah terlanjur beli, orang harus mengusahakan agar itu benar-benar menjadi rumah, bukan sekadar bangunan yang bisa ropak dimakan usia.
Rumah itu, buat kita yang penuh buih laut di kepala ini, harus punya kamar khusus untuk mengistirahatkan puisi. Kekasihmu, harus bisa jadi tempat puisimu menarik nafas dan minum mata air. Rumah bagi sajak-sajakmu. Dan, ya, di situlah, sulitnya.
Namun kalau bukan pada kekasih, setidaknya kita harus punya sahabat, ibu, ayah, siapapun, yang tidak perlu memahami apa yang ada di dasar laut ini. Cukup padanya kita boleh menginformasikan bahwa sedang ada badai, "aku tengah menjadi gunung api yang menahan sebuah letusan", "aku ingin menelan sebuah kapal", dan sebagainya. Sekadar menginformasikan bahwa ada yang tidak beres dalam puisiku.
Harus ada.
Atau kita akan mati sepi.
Sayangnya, berhubung saya juga belum memiliki rumah bagi puisi-puisi saya, saya jadi ragu untuk memaksakan pikiran ini. Saya tidak berbukti.
Apa yang pantas saya katakan pada seorang laki-laki yang pernah membangun jalan Daendels di rambut seseorang, yang kini sedang kehilangan gairah, dan menutup-nutupi bahwa dirinya tengah terlibat cinta?
Saya malah ikutan ngeles, "sebenarnya tidak sekompleks itu juga. Ini kan cuma soal menulis dan membaca." Saya sungguh ingin dia tetap semangat mencari rumah yang cocok.
"O, iya," katanya.
Duh, Jagat. Mudah-mudahan dia percaya.
2020
Komentar
Posting Komentar