Langsung ke konten utama

Zona Merah

Barangkali memang, sejarah tidak terjadi setiap hari.



24 Maret 2020, Ujian Nasional untuk semua jenjang sekolah ditiadakan.  Kita terancam membeku sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mendadak kita semua menjelma serumpun anak kembang Ester, menanti musim panas yang tiap pagi makin terasa jauh. Makin terasa, tidak akan datang.

(4 hari lalu, Surabaya dilabeli sebagai zona merah persebaran Korona. Kemarin malam, peta sebaran per kelurahan diluncurkan. Sejak 4 bulan lalu saya sudah menduga wabah ini akan serius. Sayang, saya tidak menyiapkan diri bahwa di negeri ini, barangkali, saat itu cuma saya yang menganggapnya serius)

27 Maret 2020, Hari Teater Dunia. Merapi erupsi. Atas inisiatif yang serampangan, rombongan teater saya menggarap proyek kilat, rekaman akustik drama. Naskah turun pukul 2 siang. Laporan terkini penderita korona 893 orang. Dua jam kemudian jadi 1046 orang.

28 Maret 2020, kita tidak merayakan Earth Hour. Tidak ada dunia hari ini. Merapi erupsi lagi, 2 kali, pagi dan malam seperti jadwal minum obat. 3000 meter ke langit, debu-debu -cintaku- berarak ke Barat.

-19.00 WIB
BCL dan Ariel
"..perlahan mimpi terasa mengganggu/kucoba untuk terus menjauh/perlahan hatiku terbelenggu/kucoba untuk lanjutkan hidup.."

-19.26 WIB
sesuatu tidak bisa ditahan lagi, akhirnya.
Manakah yang akan memutihkan dadamu lebih dulu, abu Merapi atau abu cintaku?

- 22.00 WIB
seorang teman SMA
+Aku menyesal kenapa menikah. Di luar banyak yang lebih bagus.
Tidak ada korona di jendela pesan itu.

-22.21 WIB
seekor ikan menimbang-nimbang terjun ke dalam galaksi
+semoga kamu menemukan bintang jatuh.
- untuk apa?
+untuk bandul kalung.
- kita tidak bisa mencintai seperti sepasang manusia.

-22.46 WIB
Menyetel ulang, "Love in The Time of Corona". Mengagumi betapa ketidakseriusan bisa menghasilkan hal-hal luar biasa. Seperti kinerja pemerintah.

-22.48 WIB
Sebuah tanda merah sudah terkirim buatmu, agar kamu ngguyu.

-22.48 WIB
Cinta, di tengah wabah atau tidak, ya gitu-gitu aja.

-22.51 WIB
(Apakah kita harus mencatat tiap menit?)
Grup chat komunitas sejarah sedang saling memperingatkan anggotanya untuk tidak kena flu.

2020

P.S. Gambar hasil citraan pos pantau Merapi

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...