Langsung ke konten utama

Profesi Penyair di Masa Depan

Seorang teman tiba-tiba mengirim pesan pendek:

Menurutmu profesi penyair di masa depan seperti apa?

Saya jawab cepat, tergantung situasi kritiknya. Tapi setelah mengirim itu saya jadi membayangkan seluruh dunia.

Saya barangkali bukan orang yang kapabel untuk memberi penilaian bagaimana posisi dan peran sastra, khususnya puisi hari ini, dalam ruang universal. Saya hanya melihat sebagian kecil dari lingkaran superkecil.

Saya percaya bahwa manfaat sastra ada pada laku tafsir, laku kritik, baik yang wujudnya esai, komentar, atau karya sastra baru. Tafsir, kata seorang kritikus, terjadi pada tataran isi, bukan bungkusnya. Sementara itu, kecenderungan visual telah menggeser pandangan kita ke hal-hal yang berbau "perbungkusan". Lalu, apakah tafsir masih ada di situ? Saya optimis tapi sangsi.

Ukuran tafsir adalah ukuran hikmah atau fungsi reflektif yang memberi pengaruh tertentu pada penafsir. Efek kepada pembaca. Sejauh apa karya sastra memberi efek bagi pembacanya, dan sedalam apa pembaca bisa menjangkau makna bacaannya?

Kesengkarutan dunia membuat efek-efek itu jadi kabur. Tidak terjejak. Dan dalam beberapa situasi, tertelan, sebab perannya telah digantikan oleh hal lain yang lebih efektif dan -dinilai- relevan (baca: kekinian). Fungsi kritik pun tergerus di dalamnya.

Teman saya itu mengirim pertanyaan lanjutan yang bagus, tapi apakah dunia hari ini butuh kritik?

Itulah. Kebutuhan akan kritik adalah soal peristiwa dan pengalaman. Barangkali hari ini sedemikian nyaman dan lengkapnya dunia kita sehingga tidak tampak manfaat kritik itu. Bagi orang-orang yang menangkap ruang-ruang cacat, mereka akan merasa tidak nyaman, bolong, di situlah akan muncul benih kebutuhan kritik.

Nyatanya, tidak semua orang merasa 100% nyaman. Kritik tetap ada, tapi pengaruhnya minimal. Untuk sebagian besar orang kritik sastra hari ini seperti sekadar bunyi asing yang tertangkap telinga. Belum menjadi 'kata'. Mereka tidak mengenal maknanya.

Dan bila seandainya kritik itu hanya berefek pada 5% orang di seluruh dunia, ya tidak masalah. Itu juga kehendak Tuhan (halah!). Yang ingin saya tekankan adalah bahwa kritik dan tafsir berguna dalam membentuk pemahaman dan sudut pandang kemanusian. Bukankah kita melanjutkan hidup demi kemanusiaan? (halah!)

Kata seorang penyair, satu-satunya hal yang diperjuangkan puisi adalah kemanusiaan. Selama masih ada kepercayaan pada kemanusiaan, puisi akan ada. Tugas kita menjawab konsep kemanusiaan itu. Jadi, kita ini manusia yang bagaimana?

Untuk itu pula kita butuh sejarah. Butuh kritik dan tafsir atas sejarah. Untuk menjawab dan mengukur apakah kita telah melakukan perkembangan atau malah degradasi dari peradaban nilai kemanusiaan sebelumnya.

Peran kritik dan tafsir itu barangkali hari ini tidak diisi oleh sastra. Tidak masalah. Tidak membaca puisi tidak apa-apa. Namun kritik harus ada. Barangkali di masa depan penyair sejajar dengan tukang siomai. Kita tidak melakukan kritik dan tafsir yang dalam pada tukang siomai kan?

Apa daya, profesi penyair di masa depan bergantung pada situasi kritiknya. Ruang akademik yang menjanjikan keberlangsungan produksi kritik sastra, hari ini ya begitu itu. Jangan dibahas, malah bikin tambah pesimis. Seorang penyair bisa masa bodoh dengan kritik. Namun tidak mungkin kuat menghadapi kemanusiaan yang bobrok. Tidak masalah. Paling-paling dia akan bunuh diri, atau masih mungkin ganti profesi. Jadi tukang siomai misalnya.

Sebab tidak membaca puisi tidak apa-apa. Namun jangan kehilangan kemanusiaanmu. Jangan sampai kamu tidak menafsirkan kemanusiaanmu. Jangan sampai kamu tidak mengkritik kemanusiaanmu.

Komentar

Posting Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...