Langsung ke konten utama

Menghiburmu

Selamat pagi, Kekasihku.

Iklim turun ke tangan kita dalam rupa musim, dan seperti musim hidup memeluk kita dengan tangan yang hangat juga yang dingin. Apakah sedang musim dingin di situ? Sebentar. Sebentar saja.

Apakah musim, Kekasihku? Hakikatnya, hawa. Angin, yang barangkali dari gunung, dari langit, atau yang lebih tinggi dari langit, kadang suka kubiarkan masuk lewat jendela. Aku tidak membayangkanmu, sebab kau bukan lagi bayangan. Kau tiada. Sepenuhnya. Dan dari ketiadaan itu aku menjumpai sesuatu lain yang lebih agung: keajaiban. Seperti musim.

Ini adalah sebuah surat. Simpanlah. Seperti selama paruh musim kau menyimpanku dari seluruh dunia. Merahasiakanku. Simpanlah. Kita telah melampaui pertemuan. Telah melampaui perpisahan. Tak ada lagi yang berhak kita taklukkan. Kesedihan terlalu remeh. Telah kita tundukkan. Telah aku tundukkan.

Di langit, aku temukan warna merah muda yang suram tapi sekaligus lembut. Matahari beranjak dari arah kau datang. Tepat di tempatmu. Adakah yang lebih penting dari matahari? Bukankah kau sudah menelannya, untuk memahami hakikat waktu?

Sekarang tidak ada apapun di hadapanku. Juga di hadapanmu. Dunia membersihkan diri buat kita. Berjalanlah. Seperti selalu aku tuntutkan: berjalanlah! Jangan tunduk. Satu langkah kakiku adalah satu langkah kakimu. Kau ke kanan. Aku ke kiri. Di ujung dunia nanti kita akan bertemu tanpa piutang. Tanpa janji. Sebab kita telah memenuhi segalanya sebagai sepasang manusia yang memiliki segalanya tapi tidak memiliki segalanya. Tidak kehilangan apapun. Tidak ragu.

Aku adalah diriku yang sejak mula. Kau adalah dirimu yang sejak mula. Kita mengenal demikian jelas bayangan masing-masing. Setiap lekuk. Meyakini.

Maka jangan pernah memberi harga pada kekalahan, pada kelemahan, pada kesendirian, pada kekosongan, pada keputusasaan, pada kesedihan. Segalanya tidak berharga lagi. Tidak ada langkah yang menjauhkanku darimu, demikian sebaliknya. Peristiwa memberi kita pengalaman dan pemahaman justru sebab ia telah tidak lagi di sini. Sebab ia sudah lewat. Kita memujanya. Segala sesuatu yang memenuhi jiwa kita dengan makna. Yang barangkali, tidak boleh diumbar isinya.

Berjalanlah.

Kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
Ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
Jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
Kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
Jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
Kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
Aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
Jika jari jemarimu tak bisa memetikku
Ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
Kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
Jika ususmu belum bisa mencerna ususku
Kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
Kalau kelaminmu belum bilang kelaminku

Aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu

Daging kita satu arwah kita satu
Walau masing jauh 
Yang tertusuk padamu berdarah padaku
 (Satu, Sutardji Calzoum Bachri)

2020


Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...