Mengalami "cuaca buruk" Surabaya dalam seminggu terakhir, saya seolah menemui kekasih yang asing. Kemarin, pukul 8 malam, saya menyeberang -pulang- dari arah Barat kota ke Utara kota, menempuh hujan dan angin.
Entah malam, entah hujan, yang menggelapkan Surabaya sepanjang perjalanan. Ruas-ruas jalan protokol lengang. Dan karena itu, jadi kelihatan lebih lebar dari biasanya. Barangkali juga karena itu, saya merasa menghadapi kota yang berbeda. Surabaya yang lain.
Melintasi kawasan kota tua, gedung-gedung seperti miniatur diorama. Hujan mempertegas garis yang dibentuk sorotan lampu kota. Serbuk air dalam serbuk cahaya. Taburan yang ganjil. Tiap kali lewat di bawah sorot lampu, pandangan saya menangkap gerak lambat air yang jatuh. Serentak. Padu.
Dari kota tua ke kawasan Pecinan, gerai-gerai toko dan perkantoran tutup seolah merampas ingatan tentang siang hari yang sibuk. Saya lewat sana sebelumnya, beberapa jam yang lalu. Kini orang-orang tiada. Menghilang. Lenyap. Di ujung pandangan, barisan lampu yang gagah dan putih itu juga tertelan. Saya mengira lebar jalan itu lebih dari 20 meter, panjangnya? Hanya orang-orang yang mengantri ke tujuan masing-masing yang tahu.
Di satu perempatan utama, segala arah berkumpul membuat saya merasa kota ini bergerak di luar diri saya. Seperti menembus dimensi sebuah film tapi tetap tidak menjadi satu bagian darinya. Di seberang sana, segerombolan kendaraan berpendaran. Saya membayangkan segerombalan ruh menyala yang bergerak dan bisu. Hanya suara hujan. Hanya hujan - Surabaya yang lain.
Barisan lampu merekam garis samar, lenyap di ujung yang buram. Alangkah kelabu dan jauh. Saya lantas berpikir, Surabaya, adakah ini warna jiwamu -sejak masa lalu, dari awal mula? Adakah ini kebisuanmu, yang kausimpan sendiri, sementara masa bergerak acuh, menempuh tujuan-tujuan baru, bergerak di atasmu, tetapi tidak menyatu denganmu.
Saya merasa menjumpai Surabaya yang lama sembunyi dari keriuhan hari. Surabaya yang biasanya, kini menjelma di depan saya membawa rahasianya. Bahwa selama ini ia hanya diam, menatapi orang-orang dengan mata yang dingin. Inilah kebungkamannya, sebuah riwayat dan persaksian.
Saya tidak mendengar apa-apa dalam pengakuan itu selain suara hujan. Hanya hujan dan Surabaya yang lain - yang bahkan melarang saya bersuara. Saya dan segalanya, bungkam dalam momen pengakuan itu. Hanya hujan dan Surabaya yang lain, menggerakkan saya dan saya diam di atas motor dengan kecepatan yang stagnan. Semakin masuk.
Ke ruang-ruang pinggiran kota, hujan menunda kehidupan ke emperan Indomaret, kafe kopi murahan, warung soto, ruang tamu dengan televisi yang nyalang ke jalan. Kehidupan bergerak di situ, tadi, sebelum hujan. Kini ketertundaan membawa orang-orang ke alam pikiran. Ah, ada apa di situ: kamar belakang yang bocor, cicilan motor, jadwal ujian akhir sekolah, status WA tetangga, iuran RT nunggak dua bulan, akan nunggak dua bulan lagi, daftar barang di keranjang Shopee, tertunda.
Sepanjang jalan saya berusaha keras kembali ke Surabaya yang lama, yang biasa. Saya masih bisa menyadari semua jalan tembusan menuju rumah saya tergenang banjir, persis kepala saya. Barangkali memang hujan sudah terlampau lama. Tidak bisa kita tampung lagi, dan Surabaya pun, yang selama ini bungkam, mengakui kegelapannya kepada saya. Saya tidak tahu mesti menyikapinya bagaimana.
Sesampainya di rumah, saya masuk kamar. Dinding-dinding kamar saya basah, terembes air dari talang yang dipasang keliling. Barangkali segalanya sedang tidak sanggup menampung yang dibawa musim hujan ini. Segalanya. Harus basah sekarang.
2020
Komentar
Posting Komentar