Garis apakah yang membentang antara tulisan dan lisan (kita)?
Dalam usaha menyampaikan sesuatu, bahasa memberi kita dua cabang: tulisan dan lisan. Atau lisan dan tulisan. Beberapa kasus mengindikasi bahwa yang tercetak lebih dulu cenderung sedikit lebih penting dari yang setelahnya. Saya ketik lagi dengan efek miring: yang tercetak lebih dulu cenderung lebih penting dari yang setelahnya. Maka barangkali kita perlu mundur jauh ke mula sejarah perkembangan bahasa: kehidupan dan bunyi-bunyi. Demi mengurai kegelisahan ini:
Barangkali manusia pertama di bumi berkomunikasi dengan bunyi yang sederhana seperti: /a/, /hng/, /wa/, /ung/ - ada berapa banyak kemungkinan lagi. Manakah bunyi paling tua di bumi, /hu/ ? Bunyi apapun itu, kita akhirnya mengilhami bahwa kesederhanaannya akan takluk di dalam ruang makna. Bunyi-bunyi menjadi berarti dalam arus komunikasi sebab ia bukan bunyi lagi. Ia telah menjadi kata.
Sebermula adalah kata
Baru perjalanan dari kota ke kota
SDD
Ka.ta , unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa. (KBBI V)
Pengertian yang panjang dan berlarat. Namun ada yang menarik juga digarisbawahi di situ yaitu, kesadaran bahwa kata menempati ruang ucap dan tulis. Kata bukan hanya tentang yang diucap. Kata juga apa yang ditulis. Maka pertanyaan pembuka tulisan ini pun berawal pangkal: kata.
Dalam konteks gramatikal, kata adalah satuan terkecil bahasa yang memiliki makna. Makna, ada dalam ucapan dan tulisan. Tapi dua jalan itu menjadi demikian berbeda dalam aktualisasi pilihan-pilihan kita.
Ucapan= didengarkan
Tulisan= dibacakan
Dua tindakan respon yang membedakan komunikasi ucap dan tulis itu saya kira kembali lagi pada akar kata: bunyi. Nah, segalanya menjadi tampak berkelindan di sini. Kalau benar titik pangkal dan pulang bahasa ucap dan tulis pada dasarnya sama, mengapa masih terasa garis itu, yang membentang antara tulisan dan lisan(mu)?
Saya perbaiki persamaannya:
Ucapan= didengarkan
Tulisan= dibacakan - didengarkan
Nah.
Adalah membaca. Adalah membaca, masalah kita yang purba.
Bahasa tulis memiliki jembatan yang lebih panjang untuk mencapai tujuan pemahaman. Saya sempat mencurigai bahwa garis antara tulisan dan lisan kita diciptakan oleh pengucap dan penulis. Namun ternyata, dengan runutan respon tindakan sederhana yang sama, menjadi tampak bagi saya bahwa garis antara tulisan dan ucapan itu dimanipulasi paling banyak oleh pembaca.
Seorang penggiat bahasa pernah menanyai saya, "Membaca itu apa?" Saya jawab dengan wajah tengil waktu itu, "Membunyikan tulisan." Ia mengernyit lalu akhirnya mengangguk dengan komentar, "Wah, linguistik sekali, ya." Tentu saya membatin: goblok, lantas memutuskan menyetop respon indera saya untuk menangkap ceramahnya.
Situasi ini lagi-lagi melayangkan ingatan saya kepada Jibril. Dan seorang kekasih yang lembut, di dalam gua, berbisik, "Aku tidak bisa membaca. Aku tidak bisa membaca. Aku tidak bisa membaca."
Saya kira dalam kalimatnya itu tidak tersirat bahwa yang ia maksud adalah aku tidak bisa memahami. Bukan. Kekasih kita itu penuh akan pemahaman. Yang menjadi masalahnya malam itu adalah ia tidak tahu bagaimana membunyikan tulisan-tulisan itu. Adalah membunyikannya, yang barangkali membuatnya menggigil pulang dan memohon seorang perempuan tua membungkuskan selimut ke tubuhnya.
Mari kembali pada pertanyaan pembuka tulisan ini. Saya kira kita sudah luput mengingat bahwa di level yang paling dasar, membaca sebagai membunyikan, bisa menuntut energi demikian besar. Setidaknya energi kejujuran untuk membunyikan 'a' sebagai /a/, bukan /ka/. 'bu' sebagai /bu/, bukan /yu/. Sehingga telinga kita ini mendengar /abu/, bukan /kayu/. Sehingga selanjutnya kita akan memaknai /abu/, yang sisa dan muram, bukan /kayu/, yang keras dan tumbuh.
Kejujuran itu besar bukan?
Namun agaknya kita lebih sering jadi pembaca yang tidak jujur. Di hadapan kata. Mengaku menangkap kayu padahal abu. Mengaku tumbuh, padahal lumpuh. Jika sudah demikian dusta kita megah terhadap kata, bagaimana kita berani bertanya makna? Kita pembaca yang dusta. Kita lancang kepada makna. Baiklah. Saya ulang pertanyaan seorang penyair dengan menggeser konteksnya: kamu ini bagaimana atau aku yang harus bagaimana?
Itulah mengapa dalam beberapa situasi saya lebih suka tidak tahu apakah tulisan saya dibaca atau tidak. Lebih tenang. Sebab tidak perlu khawatir kata-kata saya dibunyikan oleh pembaca yang goblok. Lalu makna dari kata-kata saya menjadi miliknya. Padahal dia ngawur. Padahal dia seenaknya sendiri! Membunyikan /hu/ padahal /ba/. Membunyikan /jan/ padahal /dai/. Ish!
Semoga di momen maulud ini kita bisa introspeksi.
Diam-diam kamu membunyikannya dalam kepalamu. Diam-diam ada makna menjalar dalam kepalamu segera setelah kamu membunyikannya. Diam-diam kamu mengingkarinya dan kata tersesat dalam labirin yang kamu ciptakan di kepalamu itu. Tiba-tiba kamu menemukan dirimu sendiri di situ. Tersesat. Telanjang dan malu.
2019
Tidak ada Surabaya hari ini.
Dalam usaha menyampaikan sesuatu, bahasa memberi kita dua cabang: tulisan dan lisan. Atau lisan dan tulisan. Beberapa kasus mengindikasi bahwa yang tercetak lebih dulu cenderung sedikit lebih penting dari yang setelahnya. Saya ketik lagi dengan efek miring: yang tercetak lebih dulu cenderung lebih penting dari yang setelahnya. Maka barangkali kita perlu mundur jauh ke mula sejarah perkembangan bahasa: kehidupan dan bunyi-bunyi. Demi mengurai kegelisahan ini:
Barangkali manusia pertama di bumi berkomunikasi dengan bunyi yang sederhana seperti: /a/, /hng/, /wa/, /ung/ - ada berapa banyak kemungkinan lagi. Manakah bunyi paling tua di bumi, /hu/ ? Bunyi apapun itu, kita akhirnya mengilhami bahwa kesederhanaannya akan takluk di dalam ruang makna. Bunyi-bunyi menjadi berarti dalam arus komunikasi sebab ia bukan bunyi lagi. Ia telah menjadi kata.
Sebermula adalah kata
Baru perjalanan dari kota ke kota
SDD
Ka.ta , unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa. (KBBI V)
Pengertian yang panjang dan berlarat. Namun ada yang menarik juga digarisbawahi di situ yaitu, kesadaran bahwa kata menempati ruang ucap dan tulis. Kata bukan hanya tentang yang diucap. Kata juga apa yang ditulis. Maka pertanyaan pembuka tulisan ini pun berawal pangkal: kata.
Dalam konteks gramatikal, kata adalah satuan terkecil bahasa yang memiliki makna. Makna, ada dalam ucapan dan tulisan. Tapi dua jalan itu menjadi demikian berbeda dalam aktualisasi pilihan-pilihan kita.
Ucapan= didengarkan
Tulisan= dibacakan
Dua tindakan respon yang membedakan komunikasi ucap dan tulis itu saya kira kembali lagi pada akar kata: bunyi. Nah, segalanya menjadi tampak berkelindan di sini. Kalau benar titik pangkal dan pulang bahasa ucap dan tulis pada dasarnya sama, mengapa masih terasa garis itu, yang membentang antara tulisan dan lisan(mu)?
Saya perbaiki persamaannya:
Ucapan= didengarkan
Tulisan= dibacakan - didengarkan
Nah.
Adalah membaca. Adalah membaca, masalah kita yang purba.
Bahasa tulis memiliki jembatan yang lebih panjang untuk mencapai tujuan pemahaman. Saya sempat mencurigai bahwa garis antara tulisan dan lisan kita diciptakan oleh pengucap dan penulis. Namun ternyata, dengan runutan respon tindakan sederhana yang sama, menjadi tampak bagi saya bahwa garis antara tulisan dan ucapan itu dimanipulasi paling banyak oleh pembaca.
Seorang penggiat bahasa pernah menanyai saya, "Membaca itu apa?" Saya jawab dengan wajah tengil waktu itu, "Membunyikan tulisan." Ia mengernyit lalu akhirnya mengangguk dengan komentar, "Wah, linguistik sekali, ya." Tentu saya membatin: goblok, lantas memutuskan menyetop respon indera saya untuk menangkap ceramahnya.
Situasi ini lagi-lagi melayangkan ingatan saya kepada Jibril. Dan seorang kekasih yang lembut, di dalam gua, berbisik, "Aku tidak bisa membaca. Aku tidak bisa membaca. Aku tidak bisa membaca."
Saya kira dalam kalimatnya itu tidak tersirat bahwa yang ia maksud adalah aku tidak bisa memahami. Bukan. Kekasih kita itu penuh akan pemahaman. Yang menjadi masalahnya malam itu adalah ia tidak tahu bagaimana membunyikan tulisan-tulisan itu. Adalah membunyikannya, yang barangkali membuatnya menggigil pulang dan memohon seorang perempuan tua membungkuskan selimut ke tubuhnya.
Mari kembali pada pertanyaan pembuka tulisan ini. Saya kira kita sudah luput mengingat bahwa di level yang paling dasar, membaca sebagai membunyikan, bisa menuntut energi demikian besar. Setidaknya energi kejujuran untuk membunyikan 'a' sebagai /a/, bukan /ka/. 'bu' sebagai /bu/, bukan /yu/. Sehingga telinga kita ini mendengar /abu/, bukan /kayu/. Sehingga selanjutnya kita akan memaknai /abu/, yang sisa dan muram, bukan /kayu/, yang keras dan tumbuh.
Kejujuran itu besar bukan?
Namun agaknya kita lebih sering jadi pembaca yang tidak jujur. Di hadapan kata. Mengaku menangkap kayu padahal abu. Mengaku tumbuh, padahal lumpuh. Jika sudah demikian dusta kita megah terhadap kata, bagaimana kita berani bertanya makna? Kita pembaca yang dusta. Kita lancang kepada makna. Baiklah. Saya ulang pertanyaan seorang penyair dengan menggeser konteksnya: kamu ini bagaimana atau aku yang harus bagaimana?
Itulah mengapa dalam beberapa situasi saya lebih suka tidak tahu apakah tulisan saya dibaca atau tidak. Lebih tenang. Sebab tidak perlu khawatir kata-kata saya dibunyikan oleh pembaca yang goblok. Lalu makna dari kata-kata saya menjadi miliknya. Padahal dia ngawur. Padahal dia seenaknya sendiri! Membunyikan /hu/ padahal /ba/. Membunyikan /jan/ padahal /dai/. Ish!
Semoga di momen maulud ini kita bisa introspeksi.
Diam-diam kamu membunyikannya dalam kepalamu. Diam-diam ada makna menjalar dalam kepalamu segera setelah kamu membunyikannya. Diam-diam kamu mengingkarinya dan kata tersesat dalam labirin yang kamu ciptakan di kepalamu itu. Tiba-tiba kamu menemukan dirimu sendiri di situ. Tersesat. Telanjang dan malu.
2019
Tidak ada Surabaya hari ini.
Komentar
Posting Komentar