Langsung ke konten utama

Main Solo


datan supe angolah rasa
rasa ingkang tumandang swara

Gamelan, kata seorang kekasih, bekerja dalam laras kebersamaan. Demung mengisi saron, saron mengisi peking, peking mengisi demung juga. Tiap kali saya mendengarkan tabuhan, selalu ada yang terasa ikut mericik dalam jiwa saya. Terpecah dalam sejumlah lintasan. Seperti sebuah sungai yang tiap partikel airnya punya trayek sendiri-sendiri. Ada yang menabrak batu, ada yang terbelai akar, ada yang menghanyutkan selembar daun. Bunyi sungai terjadi dari tetabuhan air yang hidup dan bebas. Gamelan juga, terjadi karena tiap instrumennya tidak diciptakan untuk main solo.

Tidak untuk main solo. Kalau tanganmu memukul ji, ada kesadaran Sang Liyan yang menyertaimu memukul ji. Di kanan juga di kiri. Sang Liyan yang di luar tanganmu tetapi menyelaras dalam tanganmu. Tapi mungkin metode keselarasan demikian ini terlampau rumit dipahami masyarakat muda. Sesuatu yang sebenarnya sangat sederhana.

Di kampus tempat saya pernah kuliah, ada kelompok karawitan yang dulu sangat akrab dalam aktivitas ngampus saya.  Meraka ya tidak profesional-profesional banget, tapi pernah suatu masa saya menikmati juga setiap tabuhan mereka. Kalau sedang makan di kantin, sayup-sayup tabuhan itu merambat dari kisi-kisi tembok lantai dua. Ada sebait lirik yang mereka sering bawakan yang saya suka sekali Ya itu, yang saya kutip di awal tulisan ini.

Saya sering curi-curi main kalau tidak ada orang di ruang tempat menyimpan gamelan. Tapi sejak awal memutuskan tidak akan pernah resmi bergabung demi kesehatan hati sendiri, ehe. Kira-kira empat tahun saya tidak nonton mereka - karena alasan kesehatan juga, ehe. Lalu semalam, saya kebetulan nonton. Sekarang saya sedang merasa bersalah. 

Dua hari lalu saya didera keheranan yang sublim, merasa jadi ashabul kahfi yang baru keluar dari gua. Beratus-ratus tahun ternyata jarak saya dengan masyarakat ini. Dua hari lalu itu, saya bersedih. Tapi semalam, ketika mendengar kelompok karawitan tabuhan lagi, saya sudah bisa ngguyu. Entah kenapa saya jadi merasa mendengar suara mesin di ruangan pabrik. Tidak ada sungai yang mericik dalam jiwa saya. Tidak ada arus yang terbagi. Kenapa begitu? Kenapa jiwa saya jadi buntu?

Tentu tidak sopan kalau saya menjelaskan, lebih-lebih menuntut, agar semua orang memahami arus dalam bunyi logam. Ini adalah jarak yang saya maksud itu. Yang mendinginkan hati saya dua hari lalu. Ternyata peradaban bergerak demikian jauh sekali. Saya tidak bisa mencerna apakah saya telah berjalan melampaui atau malah tertinggal di belakang. Sebenarnya kedinginan ini pernah terjadi. Sekarang musim dingin kembali, mungkin karena siklus. 

Saya bersyukur sebab bisa tertawa dalam situasi ini. Artinya, saya sudah memiliki ruang penerimaan yang demikian luas dan ringannya. Saya tidak mendadak kesal. Kalau tadi saya bilang saya sedang merasa bersalah, saya sedang merasa bersalah karena sudah ngguyu. Saya merasa kurang apresiatif terhadap peradaban ini. Kurang apresiatif pada Waktu - yang sepertinya sudah capai menghitung dirinya sendiri. Solo. Solo.

2019



Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...