"Insting itu perlu," kata Ibu Suri.
Lama saya tidak ngobrol panjang dengannya. Kemarin di akhir sebuah pementasan teater yang beliau prakarsai, momen plastis itu menjelma. Awalnya saya hendak pamit ngopi tapi dialog -seperti di atas panggung- membuat segalanya jadi tertunda.
Kami mendadak menjelma dua perempuan sebaya, sama-sama belia dan jernih. Membicarakan cinta dan laki-laki.
"Di saat begini, semua orang ada, tapi kekasihku tidak ada," katanya tersenyum mengelus lengan saya.
Di saat begini, semua orang ada, tapi kekasihku tidak ada. Saya mengulang kalimat itu dalam hati. Sama gelap persis. Tapi yang keluar dari mulut ini malah sebuah candaan.
"Cuma 35 tahun, padahal jarene jodoh. Hoaks."
Beliau tertawa. Itu adalah kalimat beliau sendiri yang disampaikan pada saya beberapa hari lalu. Beliau kehilangan kekasihnya di akhir Juli lalu. Setelah 35 tahun hidup berdua.
Saya pun. Kehilangan kekasih saya di akhir Juli lalu.
Kami pasti kelihatan tragis. Beliau wadul ke saya, orang-orang memarahinya kalau dia melow begitu.
"Uwong-uwong iku gak ngerti!" Sahut saya. Galak. Tapi sebutir air jatuh cepat ke pipi saya. Entah dari mana.
Beliau bilang:
Syukurlah aku terlatih memahami dunia ini seperti dalam teks-teks sastra China. Hitam di dalam putih, putih di dalam hitam. Bahwa memang ternyata ini yang bisa kulakukan. Menghubungkan orang-orang. Barangkali ada kebaikan dan keburukan juga di situ. Tapi beginilah sebisaku. Bahwa setiap pagi aku bisa mencintai kekasihku. Bahwa ada Tuhan di situ. Bahwa segala sesuatu yang kulakukan selama ini sudah benar. Sudah benar.
"Di setiap keputusan," saya mengangguk. Galak. Tapi sebutir air jatuh lagi.
Apa artinya pemahaman dan kebodohan saya di depan beliau sehingga saya berani membenarkan kalimat itu. Bahwa beliau tidak keliru. Bahwa saya juga tidak keliru.
Dalam situasi ini, bahwa jika pada akhirnya kami sama-sama tidak bisa menggapai laki-laki yang kami cintai, apa masalahnya? Kami toh sudah mencintainya dan menerima cintanya yang mahasebentar ini.
Memangnya butuh berapa lama seorang manusia menjawab dan menjadi yakin akan sesuatu? 40 tahun, 18 tahun, 2 tahun, 2 hari, 2 menit? Sama saja.
Keyakinan, seperti katamu, kekasihku, adalah ruh mantra-mantra. Kita bisa bicara dengan banyak bahasa dan menjadi paham. Kita bahkan bisa tidak perlu bicara dan menjadi paham.
Keyakinan ternyata menjelma demikian tegas justru ketika kita sedang sangat tidak memahami yang kita pahami. Dengan matriks lain: aku sangat menerimamu ketika seutuhnya melepasmu. Dualisme komplementer, hitam dalam yang putih. Putih dalam yang hitam.
Kenapa bisa begitu. Kami mungkin akan terus bertanya-tanya seumur hidup. Mungkin benar juga: barangkali hidup adalah doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras, kata seorang penyair.
Sekarang, saya pun, sama seperti subjek lirik dalam puisi itu: merasa Tuhan sedang memandangnya dengan curiga.
Alah, Gusti, masakah perlu kita tarik-ulur kesepakatan hidup ini lagi. Masakah perlu kita ulang konsolidasi yang panjang itu? Semoga suatu hari aku tidak menemui-Mu sebagai seorang pengkhianat yang suka menipu diri sendiri dengan bahasa topeng. Bahasa aktor.
Saya mengakhiri dialog bersama Ibu Suri dengan doa goblok, "semoga ketemu." Tolong jangan kejar saya untuk menjawab maksud pasti doa itu.
2019
Lama saya tidak ngobrol panjang dengannya. Kemarin di akhir sebuah pementasan teater yang beliau prakarsai, momen plastis itu menjelma. Awalnya saya hendak pamit ngopi tapi dialog -seperti di atas panggung- membuat segalanya jadi tertunda.
Kami mendadak menjelma dua perempuan sebaya, sama-sama belia dan jernih. Membicarakan cinta dan laki-laki.
"Di saat begini, semua orang ada, tapi kekasihku tidak ada," katanya tersenyum mengelus lengan saya.
Di saat begini, semua orang ada, tapi kekasihku tidak ada. Saya mengulang kalimat itu dalam hati. Sama gelap persis. Tapi yang keluar dari mulut ini malah sebuah candaan.
"Cuma 35 tahun, padahal jarene jodoh. Hoaks."
Beliau tertawa. Itu adalah kalimat beliau sendiri yang disampaikan pada saya beberapa hari lalu. Beliau kehilangan kekasihnya di akhir Juli lalu. Setelah 35 tahun hidup berdua.
Saya pun. Kehilangan kekasih saya di akhir Juli lalu.
Kami pasti kelihatan tragis. Beliau wadul ke saya, orang-orang memarahinya kalau dia melow begitu.
"Uwong-uwong iku gak ngerti!" Sahut saya. Galak. Tapi sebutir air jatuh cepat ke pipi saya. Entah dari mana.
Beliau bilang:
Syukurlah aku terlatih memahami dunia ini seperti dalam teks-teks sastra China. Hitam di dalam putih, putih di dalam hitam. Bahwa memang ternyata ini yang bisa kulakukan. Menghubungkan orang-orang. Barangkali ada kebaikan dan keburukan juga di situ. Tapi beginilah sebisaku. Bahwa setiap pagi aku bisa mencintai kekasihku. Bahwa ada Tuhan di situ. Bahwa segala sesuatu yang kulakukan selama ini sudah benar. Sudah benar.
"Di setiap keputusan," saya mengangguk. Galak. Tapi sebutir air jatuh lagi.
Apa artinya pemahaman dan kebodohan saya di depan beliau sehingga saya berani membenarkan kalimat itu. Bahwa beliau tidak keliru. Bahwa saya juga tidak keliru.
Dalam situasi ini, bahwa jika pada akhirnya kami sama-sama tidak bisa menggapai laki-laki yang kami cintai, apa masalahnya? Kami toh sudah mencintainya dan menerima cintanya yang mahasebentar ini.
Memangnya butuh berapa lama seorang manusia menjawab dan menjadi yakin akan sesuatu? 40 tahun, 18 tahun, 2 tahun, 2 hari, 2 menit? Sama saja.
Keyakinan, seperti katamu, kekasihku, adalah ruh mantra-mantra. Kita bisa bicara dengan banyak bahasa dan menjadi paham. Kita bahkan bisa tidak perlu bicara dan menjadi paham.
Keyakinan ternyata menjelma demikian tegas justru ketika kita sedang sangat tidak memahami yang kita pahami. Dengan matriks lain: aku sangat menerimamu ketika seutuhnya melepasmu. Dualisme komplementer, hitam dalam yang putih. Putih dalam yang hitam.
Kenapa bisa begitu. Kami mungkin akan terus bertanya-tanya seumur hidup. Mungkin benar juga: barangkali hidup adalah doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras, kata seorang penyair.
Sekarang, saya pun, sama seperti subjek lirik dalam puisi itu: merasa Tuhan sedang memandangnya dengan curiga.
Alah, Gusti, masakah perlu kita tarik-ulur kesepakatan hidup ini lagi. Masakah perlu kita ulang konsolidasi yang panjang itu? Semoga suatu hari aku tidak menemui-Mu sebagai seorang pengkhianat yang suka menipu diri sendiri dengan bahasa topeng. Bahasa aktor.
Saya mengakhiri dialog bersama Ibu Suri dengan doa goblok, "semoga ketemu." Tolong jangan kejar saya untuk menjawab maksud pasti doa itu.
2019
Komentar
Posting Komentar