Sederhana. Saya sudah beberapa kali mengetik kata 'sederhana' dan menghapusnya untuk mengawali tulisan ini.
Tuhan memiskinkan saya dua kali di paruh semester 2019 ini. Membuat saya bertanya-tanya kenapa begitu. Saya melihat diri saya sendiri, ingin menemukan seseorang yang harusnya bertanggung jawab. Tapi cuma ada seorang perempuan yang sabar di situ. Yang menerima seluruh rahasia di dadanya. Lagi-lagi memanggil nama Kekasihnya. Tuhannya.
Sudah dia berikan hartanya yang paling besar: badai.
Dia berdiri di situ, hanya memiliki kemiskinan. Kemiskinan yang putih dan lembut. Ia ingin sekali bertemu Abu Bakr. Dengan hati yang berani dan tidak malu.
Siapa yang paling memahami kemiskinan selain Abu Bakr?
Saya bertanya-tanya, bagaimana panasnya angin Jabal Tsur? Kala Abu Bakr berjalan menuntun seekor unta, kekasih dari Kekasihnya. Bagaimana tusukan bisa ular menjarah darahnya? Pahitkah udara di kerongkonganmu kala itu, Abu Bakr? Masih harus kita mengambil nafas dalam kesempitan ini. Agar tidak dibilang tak tahu diri, tak tahu terima kasih, oleh Kehidupan.
Dari mana keinginan hidup yang rumit ini berakar, Abu Bakr?
Pohon-pohon akan tetap bergerak, hari akan tetap tumbuh - tanpa ucapan. Saya mengingat lagi kedua mata saya, kedua telinga saya, mungkin sesuatu tanpa sengaja telah menjadi tabir baginya. Menjadikan saya bagian dari manusia (?). Adakah saya berjalan jauh dari hati saya sendiri (adakah kamu ?).
Kita bermain-main di taman ini. Menjadi ujian dan jawaban. Pohon-pohon, panggilan tuwu, deru balap motor di jauh, membuat saya merasa segalanya tak perlu. Tak usah. Nafas ini menunggu apa, lemparan dadu, tipuan-tipuan yang membuat kita tak bahagia. Pohon-pohon bergerak, gantungan di jendela bergerak, sebagai bentuk Kejujuran. 'K' kapital. Sementara saya - kita- di arena badai ini, begitu sombongnya sebab telah menapak di Bumi. Nenek moyangmu bukan, yang menjejakkan kaki pertama kali ke mari?
Abu Bakr, bukankah rasa malu yang menggariskan riwayat kita di sini? Dan dari manakah akarnya pohon itu berbuah yang sama sekali berbeda dari bijinya?
Mendung putih malam hari seperti meminta dipotret dari jendela. Ah, saya bisa memamerkannya pada siapa! Tidak ada sepasang mata terarah ke sana kecuali seekor tuwu yang belum capai mengukur rentang. Adakah ia sedang mengukur dadanya juga - seandainya ia sebuah padang, saya ingin tumbuh menjadi pohon yang rimbun daun dan dahannya. Agar jadi tempat berteduh.
Baru saja terdengar, di kampung sebelah, dua ekor kucing -mungkin- sedang mencoba mengungguli bayangan masing-masing. Ah, saya pribadi tidak akan menang dari bayangan itu: seorang perempuan yang sabar dan miskin. Matanya cuma berhasrat melayang ke langit, mendahului hujan yang sekadar jadi niat. Ia ingin ke ujung situ. Sebab merasa tak perlu lagi. Tak usah: segala huru hara dan tipuan ini. Ia telah belajar pada pohon, daun jendela, gantungan bambu, dan seekor tuwu yang masih berputar-putar, tentang kejujuran dan Kejujuran. Tentang kesederhanaan dan Kesederhanaan, apa-apa yang hidup kalau diucapkan, dan lenyap sesaat setelah didengarkan.
Apakah masih harus saya tuntut dia di penghakiman ini. Yang sedemikian bersihnya. Yang sedemikian Sepi.
Saya sedang melihatnya jelas sekali, dalam dadanya sudah hilang hartanya yang paling besar: badai. Tapi masih teguh ia tampung di dua telapaknya, penuh terbuka, hartanya yang paling berharga: kemiskinan itu.
2019
Tuhan memiskinkan saya dua kali di paruh semester 2019 ini. Membuat saya bertanya-tanya kenapa begitu. Saya melihat diri saya sendiri, ingin menemukan seseorang yang harusnya bertanggung jawab. Tapi cuma ada seorang perempuan yang sabar di situ. Yang menerima seluruh rahasia di dadanya. Lagi-lagi memanggil nama Kekasihnya. Tuhannya.
Sudah dia berikan hartanya yang paling besar: badai.
Dia berdiri di situ, hanya memiliki kemiskinan. Kemiskinan yang putih dan lembut. Ia ingin sekali bertemu Abu Bakr. Dengan hati yang berani dan tidak malu.
Siapa yang paling memahami kemiskinan selain Abu Bakr?
Saya bertanya-tanya, bagaimana panasnya angin Jabal Tsur? Kala Abu Bakr berjalan menuntun seekor unta, kekasih dari Kekasihnya. Bagaimana tusukan bisa ular menjarah darahnya? Pahitkah udara di kerongkonganmu kala itu, Abu Bakr? Masih harus kita mengambil nafas dalam kesempitan ini. Agar tidak dibilang tak tahu diri, tak tahu terima kasih, oleh Kehidupan.
Dari mana keinginan hidup yang rumit ini berakar, Abu Bakr?
Pohon-pohon akan tetap bergerak, hari akan tetap tumbuh - tanpa ucapan. Saya mengingat lagi kedua mata saya, kedua telinga saya, mungkin sesuatu tanpa sengaja telah menjadi tabir baginya. Menjadikan saya bagian dari manusia (?). Adakah saya berjalan jauh dari hati saya sendiri (adakah kamu ?).
Kita bermain-main di taman ini. Menjadi ujian dan jawaban. Pohon-pohon, panggilan tuwu, deru balap motor di jauh, membuat saya merasa segalanya tak perlu. Tak usah. Nafas ini menunggu apa, lemparan dadu, tipuan-tipuan yang membuat kita tak bahagia. Pohon-pohon bergerak, gantungan di jendela bergerak, sebagai bentuk Kejujuran. 'K' kapital. Sementara saya - kita- di arena badai ini, begitu sombongnya sebab telah menapak di Bumi. Nenek moyangmu bukan, yang menjejakkan kaki pertama kali ke mari?
Abu Bakr, bukankah rasa malu yang menggariskan riwayat kita di sini? Dan dari manakah akarnya pohon itu berbuah yang sama sekali berbeda dari bijinya?
Mendung putih malam hari seperti meminta dipotret dari jendela. Ah, saya bisa memamerkannya pada siapa! Tidak ada sepasang mata terarah ke sana kecuali seekor tuwu yang belum capai mengukur rentang. Adakah ia sedang mengukur dadanya juga - seandainya ia sebuah padang, saya ingin tumbuh menjadi pohon yang rimbun daun dan dahannya. Agar jadi tempat berteduh.
Baru saja terdengar, di kampung sebelah, dua ekor kucing -mungkin- sedang mencoba mengungguli bayangan masing-masing. Ah, saya pribadi tidak akan menang dari bayangan itu: seorang perempuan yang sabar dan miskin. Matanya cuma berhasrat melayang ke langit, mendahului hujan yang sekadar jadi niat. Ia ingin ke ujung situ. Sebab merasa tak perlu lagi. Tak usah: segala huru hara dan tipuan ini. Ia telah belajar pada pohon, daun jendela, gantungan bambu, dan seekor tuwu yang masih berputar-putar, tentang kejujuran dan Kejujuran. Tentang kesederhanaan dan Kesederhanaan, apa-apa yang hidup kalau diucapkan, dan lenyap sesaat setelah didengarkan.
Apakah masih harus saya tuntut dia di penghakiman ini. Yang sedemikian bersihnya. Yang sedemikian Sepi.
Saya sedang melihatnya jelas sekali, dalam dadanya sudah hilang hartanya yang paling besar: badai. Tapi masih teguh ia tampung di dua telapaknya, penuh terbuka, hartanya yang paling berharga: kemiskinan itu.
2019
Komentar
Posting Komentar