Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2019

Main Solo

datan supe angolah rasa rasa ingkang tumandang swara Gamelan, kata seorang kekasih, bekerja dalam laras kebersamaan. Demung mengisi saron, saron mengisi peking, peking mengisi demung juga. Tiap kali saya mendengarkan tabuhan, selalu ada yang terasa ikut mericik dalam jiwa saya. Terpecah dalam sejumlah lintasan. Seperti sebuah sungai yang tiap partikel airnya punya trayek sendiri-sendiri. Ada yang menabrak batu, ada yang terbelai akar, ada yang menghanyutkan selembar daun. Bunyi sungai terjadi dari tetabuhan air yang hidup dan bebas. Gamelan juga, terjadi karena tiap instrumennya tidak diciptakan untuk main solo. Tidak untuk main solo. Kalau tanganmu memukul ji, ada kesadaran Sang Liyan yang menyertaimu memukul ji . Di kanan juga di kiri. Sang Liyan yang di luar tanganmu tetapi menyelaras dalam tanganmu. Tapi mungkin metode keselarasan demikian ini terlampau rumit dipahami masyarakat muda. Sesuatu yang sebenarnya sangat sederhana. Di kampus tempat saya pernah kuliah, a...

Dialog Ibu Suri

"Insting itu perlu," kata Ibu Suri. Lama saya tidak ngobrol panjang dengannya. Kemarin di akhir sebuah pementasan teater yang beliau prakarsai, momen plastis itu menjelma. Awalnya saya hendak pamit ngopi tapi dialog -seperti di atas panggung- membuat segalanya jadi tertunda. Kami mendadak menjelma dua perempuan sebaya, sama-sama belia dan jernih. Membicarakan cinta dan laki-laki. "Di saat begini, semua orang ada, tapi kekasihku tidak ada," katanya tersenyum mengelus lengan saya. Di saat begini, semua orang ada, tapi kekasihku tidak ada . Saya mengulang kalimat itu dalam hati. Sama gelap persis. Tapi yang keluar dari mulut ini malah sebuah candaan. "Cuma 35 tahun, padahal jarene jodoh . Hoaks." Beliau tertawa. Itu adalah kalimat beliau sendiri yang disampaikan pada saya beberapa hari lalu. Beliau kehilangan kekasihnya di akhir Juli lalu. Setelah 35 tahun hidup berdua. Saya pun. Kehilangan kekasih saya di akhir Juli lalu. Kami pasti kelihatan...

Membaca: Mengucapkan, Mendengarkan, dan Memahami

Garis apakah yang membentang antara tulisan dan lisan (kita)? Dalam usaha menyampaikan sesuatu, bahasa memberi kita dua cabang: tulisan dan lisan. Atau lisan dan tulisan. Beberapa kasus mengindikasi bahwa yang tercetak lebih dulu cenderung sedikit lebih penting dari yang setelahnya. Saya ketik lagi dengan efek miring: yang tercetak lebih dulu cenderung lebih penting dari yang setelahnya . Maka barangkali kita perlu mundur jauh ke mula sejarah perkembangan bahasa: kehidupan dan bunyi-bunyi. Demi mengurai kegelisahan ini: Barangkali manusia pertama di bumi berkomunikasi dengan bunyi yang sederhana seperti: /a/, /hng/, /wa/, /ung/ - ada berapa banyak kemungkinan lagi. Manakah bunyi paling tua di bumi, /hu/ ? Bunyi apapun itu, kita akhirnya mengilhami bahwa kesederhanaannya akan takluk di dalam ruang makna. Bunyi-bunyi menjadi berarti dalam arus komunikasi sebab ia bukan bunyi lagi. Ia telah menjadi kata . Sebermula adalah kata Baru perjalanan dari kota ke kota       ...

Abu Bakr dan Kemiskinan

Sederhana. Saya sudah beberapa kali mengetik kata 'sederhana' dan menghapusnya untuk mengawali tulisan ini. Tuhan memiskinkan saya dua kali di paruh semester 2019 ini. Membuat saya bertanya-tanya kenapa begitu. Saya melihat diri saya sendiri, ingin menemukan seseorang yang harusnya bertanggung jawab. Tapi cuma ada seorang perempuan yang sabar di situ. Yang menerima seluruh rahasia di dadanya. Lagi-lagi memanggil nama Kekasihnya. Tuhannya. Sudah dia berikan hartanya yang paling besar: badai. Dia berdiri di situ, hanya memiliki kemiskinan. Kemiskinan yang putih dan lembut. Ia ingin sekali bertemu Abu Bakr. Dengan hati yang berani dan tidak malu. Siapa yang paling memahami kemiskinan selain Abu Bakr? Saya bertanya-tanya, bagaimana panasnya angin Jabal Tsur? Kala Abu Bakr berjalan menuntun seekor unta, kekasih dari Kekasihnya. Bagaimana tusukan bisa ular menjarah darahnya? Pahitkah udara di kerongkonganmu kala itu, Abu Bakr? Masih harus kita mengambil nafas dalam kesempit...

Seorang Anak yang Bahagia

Saya ingin menjadi seorang anak yang bahagia dan bijaksana. Adakah universe mendukung saya? Jika saya punya cukup kemauan dan keteguhan hati, apakah ada tempat di bumi ini agar saya tidak perlu bermimpi pergi ke bulan? Tetap di sini saja. Adakah saya boleh melayang-layang dalam kamar saya sendiri, bintang-bintang dan planet mengambang di situ, sebuah sofa dari kabut nebula untuk menonton televisi, saya bisa jatuh tertidur setelah empat lagu dan petikan gitar dari hatimu, dunia gelap selalu, dan kalau matahari berani datang lagi, tidak apa-apa, saya seorang anak yang bijaksana yang menurut disuruh berangkat sekolah dan mengayuh sepeda di sehampar jalan. Saya bahagia dan bijaksana. 2019

Pintu Tertutup

Saya ingin berteriak-teriak dan membakar kasur. Delapan tahun lalu saya patah hati dan mengingat "Pada Suatu Pagi Hari" - Sapardi dengan dada beku. Sekarang saya patah hati lagi. Tapi kali ini yang terwujud adalah sebuah ruangan blank. Putih semata. Saya jadi ingin berteriak dan menampung seluruh pantulan suara saya sendiri. Semua energi buruk di dalam ruangan putih itu. Duh. Ra pantes blas!  Ini tahun tergoblok yang pernah saya alami. Saya seumur hidup pintar, kalau tahun ini goblok mungkin itu anugerah. Membuktikan bahwa saya masih manusia. Gusti, saya ambil kesempatan untuk jadi gobloknya! Matur nuwun. Dan soal pintu tertutup, saya telah sengaja menyuruh sesuatu masuk ke sebuah kamar. Biar nggak ikut patah hati bareng saya. Kasihan, masih kecil. Haha. 2019

Hopla