Teringat seorang penyair tua.
Pernah kami bercakap di sebuah sore dan seorang penyair menyatakan saya jenis yang terpisah dari manusia-manusia abad ini. Ia bertanya - sering saya ulang kisah ini-, "menurutmu cinta itu apa?"
Sering saya ulang kisah ini.
Sudah dulu saya menyadari mungkin saya tidak seberuntung itu, menemukan cinta. Saya percaya itu ada, tapi jarang terjadi. Saya lebih tertarik memikirkan kedatangan seseorang yang mau ikhlas berjalan dalam kepala saya yang ruwet. Saya sudah menyiapkan rute yang paling enak kalau ada yang mau - dan bisa.
Kalau kenyataan beberapa waktu lalu saya ketemu seseorang yang -bahkan sebelum mengambil langkah pertamanya - tiba-tiba sampai di pusat kepala saya, membuka sebuah pintu, tentu hal yang lebih dari mengejutkan. Kalau kenyataan beberapa waktu ini orang itu harus keluar dari kepala saya, tentu lebih dari jungkir balik mengerikan.
Tapi bukankah saya telah sangat beruntung? Berbagai sebab membuat saya tidak bisa menyebutnya sebagai keberuntungan. Tapi juga bukan kesialan. Saya terlalu sombong untuk menyesal.
Cuma untuk beberapa waktu besok, saya pikir keberuntungan yang sama tidak bisa menarik kalau datang dua kali.
Saya bukan manusia abad ini. Saya selalu gagap membaca dan bicara di sini. Saya cuma menghindari hal-hal yang memperpendek jarak dengan bunuh diri.
Tiga hari lalu, ratusan judul puisi menyusun jembatan dalam kepala saya: menapaki 'kesepian' dan 'kesetiaan'. Hidup. Haruskah kami bersetia padamu? Saya bukan perempuan yang bersemangat untuk bergerak, tapi kalau harus mengelilingi bumi ini, ratusan kali, untuk bertemu dengan-Mu, Hidup, saya tentu harus banyak olah fisik. Kepercayaan yang demikian besarnya diserahkan ke telapak kosong tangan saya ini, semoga bisa bagikan ke orang lain.
2019
Pernah kami bercakap di sebuah sore dan seorang penyair menyatakan saya jenis yang terpisah dari manusia-manusia abad ini. Ia bertanya - sering saya ulang kisah ini-, "menurutmu cinta itu apa?"
Sering saya ulang kisah ini.
Sudah dulu saya menyadari mungkin saya tidak seberuntung itu, menemukan cinta. Saya percaya itu ada, tapi jarang terjadi. Saya lebih tertarik memikirkan kedatangan seseorang yang mau ikhlas berjalan dalam kepala saya yang ruwet. Saya sudah menyiapkan rute yang paling enak kalau ada yang mau - dan bisa.
Kalau kenyataan beberapa waktu lalu saya ketemu seseorang yang -bahkan sebelum mengambil langkah pertamanya - tiba-tiba sampai di pusat kepala saya, membuka sebuah pintu, tentu hal yang lebih dari mengejutkan. Kalau kenyataan beberapa waktu ini orang itu harus keluar dari kepala saya, tentu lebih dari jungkir balik mengerikan.
Tapi bukankah saya telah sangat beruntung? Berbagai sebab membuat saya tidak bisa menyebutnya sebagai keberuntungan. Tapi juga bukan kesialan. Saya terlalu sombong untuk menyesal.
Cuma untuk beberapa waktu besok, saya pikir keberuntungan yang sama tidak bisa menarik kalau datang dua kali.
Saya bukan manusia abad ini. Saya selalu gagap membaca dan bicara di sini. Saya cuma menghindari hal-hal yang memperpendek jarak dengan bunuh diri.
Tiga hari lalu, ratusan judul puisi menyusun jembatan dalam kepala saya: menapaki 'kesepian' dan 'kesetiaan'. Hidup. Haruskah kami bersetia padamu? Saya bukan perempuan yang bersemangat untuk bergerak, tapi kalau harus mengelilingi bumi ini, ratusan kali, untuk bertemu dengan-Mu, Hidup, saya tentu harus banyak olah fisik. Kepercayaan yang demikian besarnya diserahkan ke telapak kosong tangan saya ini, semoga bisa bagikan ke orang lain.
2019
Komentar
Posting Komentar