'Kesepian' dan 'kesetiaan' menjadi dua kata yang sangat menyiksa dalam kelindan puzzle larik puisi Sapardi yang baru tercitrakan dalam cakrawala saya sore ini. Puisi-puisi itu, yang selama ini berdiri sendiri membawai judulnya, mendadak saling bergandeng tangan, erat sekali.
Saya tidak menduga bahwa jalan menuju jantung subjek lirik Sapardi pada akhirnya tidak saya tempuh dengan menyusuri 'rute pagi' tapi 'rute malam'. Menyusuri malam dalam puisi-puisi Sapardi. Menyusuri langit mati.
Beberapa hari ini, puisi "Nokturno" sangat mengganggu. Seperti wajah seseorang yang tiba-tiba menjadi jelas kalau kamu merem. Figur cahaya bintang yang muncul di sana mengaitkan diri dengan kegelisahan yang sama dalam puisi "Aku Tengah Menantimu". .../Waktu dan gairah telanjang di sini/ bintang-bintang gelisah/.. Ya. Bintang.
Dari situ saya bergerak ke puisi-puisi lain yang memuat diksi 'malam' dalam antologi Mata Jendela. Delapan puisi memuat citraan malam hari. Delapan pintu ke sebuah jalan tol. Atau padang lapang.
Salabim. Ha! Ya. Saya mendadak tahu kenapa Hujan Bulan Juni, kenapa Aku Ingin, kenapa Telaga, Kenapa Sajak Kecil tentang Cinta, kenapa Di Restoran. Kenapa Ketika Jari-jari Bunga Terbuka, kenapa Ketika Kau Tak Ada, kenapa Catatan Masa Kecil 1, 2, 3, 4, kenapa angka nol, ayat-ayat terbakar, kenapa sebuah hutan kelabu dalam hujan dan selembar daun jatuh ke tanah seperti hati jatuh ke tanah, kenapa Sinbad dan perahunya menemukan-Mu di situ, kenapa seorang istri berbisik, "bunuh ia, suamiku. Bunuh." Saya tahu. Saya tahu kenapa tidak boleh bertanya mau apa kepada Waktu, dan bayang-bayang tidak bertengkar dengan matahari dan dirimu, seorang gadis kecil dengan payung bergoyang, kenapa Den Sastro mengingat ciuman dan perempuan itu! Iya! Di atas beca di malam hujan! Dan pohon belimbing, dan sepasang suami istri tua yang mengenang ulang tahun pernikahannya yang entah sudah ke berapa. Saya tahu!
Sempit sekali di sini. Tidak ada jendela sama sekali. Dan mata saya sepet, tidak tidur dua hari, terngiang angin yang pucat dan suara seseorang memanggil nama saya dalam lagu.
Saya berharap pulang ke rumah dengan selamat. Saya akan temui mereka, larik-larik yang saling menjalin tangannya dalam mimpi saya. Saya harus tidur dan bermimpi malam ini. Dan membuka sebuah jendela besok pagi.
2019
Saya tidak menduga bahwa jalan menuju jantung subjek lirik Sapardi pada akhirnya tidak saya tempuh dengan menyusuri 'rute pagi' tapi 'rute malam'. Menyusuri malam dalam puisi-puisi Sapardi. Menyusuri langit mati.
Beberapa hari ini, puisi "Nokturno" sangat mengganggu. Seperti wajah seseorang yang tiba-tiba menjadi jelas kalau kamu merem. Figur cahaya bintang yang muncul di sana mengaitkan diri dengan kegelisahan yang sama dalam puisi "Aku Tengah Menantimu". .../Waktu dan gairah telanjang di sini/ bintang-bintang gelisah/.. Ya. Bintang.
Dari situ saya bergerak ke puisi-puisi lain yang memuat diksi 'malam' dalam antologi Mata Jendela. Delapan puisi memuat citraan malam hari. Delapan pintu ke sebuah jalan tol. Atau padang lapang.
Salabim. Ha! Ya. Saya mendadak tahu kenapa Hujan Bulan Juni, kenapa Aku Ingin, kenapa Telaga, Kenapa Sajak Kecil tentang Cinta, kenapa Di Restoran. Kenapa Ketika Jari-jari Bunga Terbuka, kenapa Ketika Kau Tak Ada, kenapa Catatan Masa Kecil 1, 2, 3, 4, kenapa angka nol, ayat-ayat terbakar, kenapa sebuah hutan kelabu dalam hujan dan selembar daun jatuh ke tanah seperti hati jatuh ke tanah, kenapa Sinbad dan perahunya menemukan-Mu di situ, kenapa seorang istri berbisik, "bunuh ia, suamiku. Bunuh." Saya tahu. Saya tahu kenapa tidak boleh bertanya mau apa kepada Waktu, dan bayang-bayang tidak bertengkar dengan matahari dan dirimu, seorang gadis kecil dengan payung bergoyang, kenapa Den Sastro mengingat ciuman dan perempuan itu! Iya! Di atas beca di malam hujan! Dan pohon belimbing, dan sepasang suami istri tua yang mengenang ulang tahun pernikahannya yang entah sudah ke berapa. Saya tahu!
Sempit sekali di sini. Tidak ada jendela sama sekali. Dan mata saya sepet, tidak tidur dua hari, terngiang angin yang pucat dan suara seseorang memanggil nama saya dalam lagu.
Saya berharap pulang ke rumah dengan selamat. Saya akan temui mereka, larik-larik yang saling menjalin tangannya dalam mimpi saya. Saya harus tidur dan bermimpi malam ini. Dan membuka sebuah jendela besok pagi.
2019
Komentar
Posting Komentar