Langsung ke konten utama

Gugatan

Saya sangat menghormati gairah dan cinta kawan-kawan yang memutuskan untuk membela negara ini dengan datang dan berdiri, menggugat ilham-ilham aneh yang serta-merta ditera untuk membangun negara ini. Ilham-ilham itu, bukankah telah lama menjadi hantu dalam kepala kita juga? Saya hanya punya dua pertanyaan buat kawan-kawan, hanya untuk menjernihkan pikiran saya sendiri:

1. Bagaimana kawan-kawan menyikapi korelasi ilmu yang kawan-kawan pelajari dengan pembangunan negara ini?
2. Adakah kawan-kawan sempat memilih satu langkah konkrit untuk mengaplikasikan jawaban dari pertanyaan sebelumnya, dalam tindakan yang riil yang berani kawan-kawan jaminkan?

Sebab saya berpikir, kita yang gagal memahami peran keilmuan kita untuk pembangunan negara, sebijaknya merasa sungkan untuk bicara negara. Sebab saya berpikir, kita yang ternyata tidak sanggup menyumbang satu langkah saja untuk mengisi tanggung jawab sebagai penerus peradaban ini, punya hutang yang lebih besar yang perlu kita cicil daripada menuntut diberi lagi.

Hal-hal aneh dan menyedihkan membuat saya melihat dosa besar yang mengancam saya di depan Tuhan, sebab saya adalah manusia yang gagal mengambil peran. Bahwa para pemuda memang pion kunci dalam arena ini. Cita-cita pembangunan ini. Sebuah omong kosong klise. Tapi seandainya, seandainya saja, kita benar-benar menyempatkan waktu untuk mencernanya. Seandainya, seandainya saja satu orang mau mengambil satu langkah yang lebih berguna, negara ini akan sangat lebih baik daripada sekarang dan kemarin. Seandainya, tiap satu orang mau mengambil satu saja langkah yang lebih berguna untuk besok.

Ilham-ilham aneh yang kini menghuni kepala para pemimpin kita, adalah hantu dalam kepala dan hati kita juga. Sekarang. Kemarin. Kalau saja kawan-kawan mau menyempatkan diri mengenali mereka. Maaf, saya hanya melihat semua ini dengan berbeda.

Semoga kita memang hanya akan mengusahakan kebaikan. Semoga kita bertanggung jawab atas kebaikan yang kita usahakan.

2019

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...