"Tamat? Betapa kerap tamat justru berarti permulaan?... "
- Orang Tua, Bulan Bujur Sangkar, Iwan Simatupang
Dialog adalah bahasa yang bergerak dalam siklus. Kita sulit mengingat lagi titik awalnya, kenapa kita membincangkan ini? Tiba-tiba kata-kata mengantar kita ke sebuah tempat. Kadang asing kadang akrab.
Di mana pun kita berakhir, setelah dialog, marka yang diciptakan kata-kata dalam kepala kita ini tidak pernah selesai meniti lintasannya. Dari tempat ke tempat, hidup menjadi. Dari dialog ke dialog.
Dialog, di-, menandai kehadiran (setidaknya) dua sudut pandang. Maka di dalam perjalanannya dialog membekaskan diri pada masing-masing juga. Selalu ada yang tersisa untukmu maupun untukku. Apa yang tersisa untukmu bisa berbeda dengan apa yang tersisa untukku. Dan seperti itu: tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari keduanya. Sebab, dialog adalah bahasa yang bergerak dalam siklus. Dialog yang baik, akan membawa kita ke suatu tempat yang selalu baru. Selalu segar dan menyulut. Asing maupun akrab.
Membaca teks sastra berarti juga berdialog dengan teks itu. Menghadirkan diri kita di depan kehadiran teks. Kita penuh dengan pertanyaan dan ketidaktahuan. Teks menjawab. Lalu di akhir bacaan, teks memberi kita pertanyaan-pertanyaan. Giliran kita menjawab. Selalu ada tarik ulur dalam peran siapa yang bertanya dan siapa yang menjawab. Dalam proses tarik ulur itulah diharapkan sebuah pemahaman.
Saya membayangkan proses itu mewujud di panggung saat membaca dialog antara tokoh Sutradara dan Aktor dalam naskah "Di Seberang Sana" karya Yusril Ihza. Dua tokoh itu membangun situasi panggung yang sederhana sebenarnya. Seorang sutradara tengah memperjuangkan pementasannya di depan aktor utama yang sedang merajuk di menit-menit akhir menjelang pementasan.
Yang menjadikan panggung itu genting bukanlah sebab dialog itu terjadi di menit-menit akhir menjelang pentas. Tetapi bahwa dalam waktu yang sempit itu terjadi tarik ulur proses memahami yang serius tentang hal-hal esensial dalam teater dan - harus saya katakan - kehidupan.
Tarik ulur antara keduanya terbingkai dalam sebuah wacana naskah lain, "Bulan Bujur Sangkar" karya Iwan Simatupang. Naskah di dalam naskah. Situasi panggungnya akan menjadi pementasan di dalam pementasan.
Saya tertarik pada bagaimana lintasan dialog dalam naskah ini terbentuk. Si aktor, yang sampai menit itu masih dirundung gelisah akan proses pencarian dan pendalaman karakternya sebagai tokoh utama pementasan Bulan Bujur Sangkar, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Sutradara. Di beberapa titik, berkembang menjadi protes-protes, tentang sejumlah konsep ideal. Sang Sutradara, demi panggungnya, mencoba mengimbangi kecerdasan - atau keruwetan - aktornya dengan bujukan dan akhirnya postulat-postulat.
Di sebuah malam, di belakang panggung. Si Aktor dengan kostum yang siap, tarik-menarik dengan Sutradara. Di luar sana penonton yang hampir tak sabar. Cek-cok kecil itu tidak seluruhnya asik. Ada tawaran gambar dan gerak di situ. Ada baris-baris yang kaku juga. Terutama di bagian ketika Sutradara harus menjawab rajukan aktornya dengan argumentasi yang teoritis dan serius. Riskan menjadi diktat. Tapi bisa juga kita melihat sebuah motif di baliknya: Aktor seperti tak puas dengan respon ringan Sutradara. Dan di luar sana, demi penonton yang hampir tak sabar, ada panggung yang harus dipertahankan. Maka berdalillah Sutradara, kita tidak sedang berbicara seperti seorang sutradara dan aktornya.
Dalam naskah itu, kata Aktor kepada Sutradara, kau selalu meletakkan harapan di atas panggung pertunjukan. Sutradara menjawab,
"Ini adalah pekerjaan yang harus diselesaikan."
Dua cara ukur yang berbeda.
Beberapa penulis pernah mencatat tentang perbedaan sudut pandang antara sutradara dan aktor dalam memaknai panggung. Setidaknya ada dua: puisi "Aktor" karya Goenawan Mohamad dan "Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita" karya Sapardi.
Namun sepertinya posisi Aktor dalam naskah Yusril berbeda dengan aktor pada puisi GM dan Sapardi. Aktor pada Yusril ini memiliki - saya sulit menemukan kata yang pas -, kepongahan (?) yang tidak dimiliki aktor GM dan Sapardi.
Ia sepertinya kurang berlapang dada dan pasrah di dalam pencarian keaktorannya sehingga masih juga dirundung gelisah di menit-menit menjelas tiraj dibuka. Sebuah kutipan:
...
AKTOR
Baiklah. Hari ini, pada pertunjukan malam ini, apakah aku harus mengakhiri pertunjukan sekaligus mengakhiri hidupku hanya untuk ratusan, ribuan, bahkan jutaan tepuk tangan para penonton? Apakah zaman ini menghargai satu nyawa hanya dengan banyaknya jumlah tepuk tangan?
Sutradara terlihat sedang berpikir sejenak, menenangkan pikiran dan gejolak batinnya.
SUTRADARA
Pada akhirnya, kau masih belum bisa memaknai kehidupan di atas panggung. Kalau begitu, aku akan mengakhiri pertunjukan ini tanpa tepuk tangan. Selamat malam.
… (Di Seberang Sana - Yusril Ihza)
Seorang aktor yang hilang arah. Pada beberapa menit akhir menjelang pentas itu, ia seperti masuk ke labirin otaknya sendiri. Dengan sengaja. Meragukan jalan yang baru diambilnya untuk menamatkan labirin itu. Ia seperti, aku tidak percaya bisa keluar dari sini. Maka di sanalah Sutradara, mencoba merunutkan lorong-lorong dan belokan yang tadi menyelamatkan si Aktor.
Sutradara yang mengerti dan Aktor yang tidak mengerti, atau lupa (?). Di panggung belakang-panggung, sedang menyusun ulang lintasan untuk memahami Bulan Bujur Sangkar, kematian, hidup, pencarian, perjalanan.
Naskah Di Seberang Sana seperti sebuah transkripsi otak kita ketika mendialogkan ketidakmengertian dengan kemengertian sebagai usaha memahami dari dalam diri sendiri. Transkripsi berpikir ketika kita bertanya ulang apakah Bulan Bujur Sangkar, kematian, hidup, apakah pencarian, perjalanan?
Dialog yang riskan itu mungkin membawa pentas Sang Sutradara ke sebuah jurang. Pentas tanpa tepukan tangan. Kita berhadapan dengan kata-kata yang mengantar ke sebuah tempat asing rupanya. Tapi toh itu sebuah tempat, kan? Ada yang menyulut ketika Sutradara mengakhiri dialognya. Ada yang membekas pada diri si Aktor.
Begitulah. Teks drama ini semacam sebuah teknik memahami, dialog antara diri kita yang tidak mengerti dan diri kita yang lain, yang mengerti. Teknik kepenulisan seperti ini menarik untuk dicoba dan dikembangkan oleh siapapun yang sedang menemui kebuntuan dalam memahami sebuah wacana. Kadang batas antara pengetahuan dan ketidaktahuan hanyalah selembar kabut. Kita bisa dengan mudah menembusnya, sebenarnya. Tapi kita butuh dialog. Butuh menelusuri lintasan. Sebuah usaha bertanya dan menjawab untuk melampaui batas sendiri.
Nanda Alifya Rahmah
*Catatan untuk Naskah Drama "Di Seberang Sana" Karya Yusril Ihza
Majelis Sastra Urban #8, Sabtu 13 Juli 2019
2019
Komentar
Posting Komentar