Langsung ke konten utama

Tiga Juta Mil dari Sini

Dua hari lalu, 15 Juni

Dua orang sahabat mengajak saya ke sebuah department store untuk memilih hadiah ulang tahun sendiri. Setelah berkeliling di store fashion wanita, kami gagal menemukan pilihan yang cocok. Lalu salah seorang mengusulkan menengok store fashion anak-anak.

Voila! Kami akhirnya membayar untuk sebuah dress merah muda dengan aksen cape berlabel 13-14. Ya, 13-14.

Saya 25 lebih 2 hari, hari itu.

Saya menyiapkan baju itu untuk agenda khusus. Setelah mungkin hampir setahun saya bisa memenuhinya.

Sampai di rumah, saya sedang menunggu hadiah yang lain. Entah apa, dari seorang kekasih yang selalu harus berbelok ke hutan tak berpenghuni dulu untuk mengatakan, "Ya, aku penuhi keinginanmu." Melelahkan tentu saja.

Malam itu ternyata dia merencanakan perjalanan yang lebih jauh. Dia kirimi saya puisinya dan mendadak berlari mundur amat jauh dari tempat kami semula. Saya terkejut dan berusaha tetap kalem dalam keterkejutan itu. Lalu saya lihat dia meletakkan jiwanya tiga juta mil dari saya - atau sekitar itu. Saya jadi ngomel panjang sekali padanya.

Saya beri dia pidato yang bagus hingga dia merengek meminta saya menjemputnya dari situ. Bajul.

Dia sepenuhnya sadar sedang menggoda seorang gadis kecil dari situ. Saya tidak bisa menyalahkan situasi ini. Jadi yang saya lakukan adalah tetap ngomel sambil berjalan menempuh tiga juta mil ke arahnya. Dia bilang bahagia melihat saya begitu. Saya sama sekali tidak memahami kebahagiaannya.

2019

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...