Seseorang tidak bisa tahu apa arti teman buat saya. Sekian belas tahun lalu seorang teman pergi. Mungkin saya telah menceritakannya berkali-kali.
Kepergian menjadi sangat riil sejak itu. Setiap detilnya. Bunyinya. Arahnya. Jaraknya. Ia seperti penyakit di tenggorokan saya. Membuat saya sulit menelan.
Ia hantu nomor 2 dalam kepala saya. Hantu yang saya harapkan mengusir hantu nomor 1. Diam-diam saya membentuk konsep teman secara utuh, sangat hati-hati. Saya tidak suka sebuah celah yang memungkinkannya rusak. Saya menjadi sangat berhati-hati. Sangat.
Ia adalah penghancur yang bisa diandalkan untuk menyerang saya.
Naasnya, saya tahu betul seberapa seorang teman berarti bagi saya tapi saya tidak bisa menilai seberapa penting saya baginya. Ketika seseorang berkata bahwa saya adalah temannya, saya menjadi mundur lima langkah. Saya selalu curiga bagaimana ia mengartikan kata teman itu.
Saya ingin berbahagia ketika seseorang menyebut saya temannya. Saya ingin berbahagia seperti saya membuat teman saya berbahagia ketika saya mengatakan ia teman saya. Kenapa sulit sekali?
Mempercayai seseorang, kenapa sulit sekali.
Beberapa minggu berlalu setelah seorang teman menusukkan pisau ke jantungnya sendiri dengan tangan saya. Saya yang mati. Saya yang mati. Orang-orang tidak tahu.
Hari ini bisa saya katakan saya tidak akan sembuh dari luka itu. Saya terus berlarian mencari cara menyelamatkan kenangannya. Saya ingin mengingatnya dengan bahagia. "Dia temanku," dengan bahagia, seperti semula. Tapi semua pintu tertutup buat saya.
Lalu seperti daun-daun pada umumnya. Saya sebuah pohon, wahai daun, kukira engkau setia.. Teman demi teman berlepasan dari lengan saya. Kenapa waktu membawa musim kemarau ke sini? Apa di tempat daun-daun yang gugur akan tumbuh daun lagi?
Lengan saya ini, wahai daun, angin akan memainkan apa kalau kau tak bergantungan di situ?
Kenapa seseorang tidak mau jadi teman saya. Saya suka punya teman. Suka sekali.
2019
Kepergian menjadi sangat riil sejak itu. Setiap detilnya. Bunyinya. Arahnya. Jaraknya. Ia seperti penyakit di tenggorokan saya. Membuat saya sulit menelan.
Ia hantu nomor 2 dalam kepala saya. Hantu yang saya harapkan mengusir hantu nomor 1. Diam-diam saya membentuk konsep teman secara utuh, sangat hati-hati. Saya tidak suka sebuah celah yang memungkinkannya rusak. Saya menjadi sangat berhati-hati. Sangat.
Ia adalah penghancur yang bisa diandalkan untuk menyerang saya.
Naasnya, saya tahu betul seberapa seorang teman berarti bagi saya tapi saya tidak bisa menilai seberapa penting saya baginya. Ketika seseorang berkata bahwa saya adalah temannya, saya menjadi mundur lima langkah. Saya selalu curiga bagaimana ia mengartikan kata teman itu.
Saya ingin berbahagia ketika seseorang menyebut saya temannya. Saya ingin berbahagia seperti saya membuat teman saya berbahagia ketika saya mengatakan ia teman saya. Kenapa sulit sekali?
Mempercayai seseorang, kenapa sulit sekali.
Beberapa minggu berlalu setelah seorang teman menusukkan pisau ke jantungnya sendiri dengan tangan saya. Saya yang mati. Saya yang mati. Orang-orang tidak tahu.
Hari ini bisa saya katakan saya tidak akan sembuh dari luka itu. Saya terus berlarian mencari cara menyelamatkan kenangannya. Saya ingin mengingatnya dengan bahagia. "Dia temanku," dengan bahagia, seperti semula. Tapi semua pintu tertutup buat saya.
Lalu seperti daun-daun pada umumnya. Saya sebuah pohon, wahai daun, kukira engkau setia.. Teman demi teman berlepasan dari lengan saya. Kenapa waktu membawa musim kemarau ke sini? Apa di tempat daun-daun yang gugur akan tumbuh daun lagi?
Lengan saya ini, wahai daun, angin akan memainkan apa kalau kau tak bergantungan di situ?
Kenapa seseorang tidak mau jadi teman saya. Saya suka punya teman. Suka sekali.
2019
Komentar
Posting Komentar