Langsung ke konten utama

Candi dan Laki-laki

Saya merindukan perjalanan sendiri. Ke Yogya tentu saja. Tapi kemiskinan, seperti juga kelaparan, kata Rendra adalah burung gagak. Maka untuk melipur saya, seorang teman mengajak vakansi regional dua hari satu malam. Teman yang ini punya cara menikmati ruang seperti cara saya menikmati ruang. Dia bilang, "kita jalan kaki di stasiun pun sudah berliburan."

Saya selalu suka duduk berlama-lama mengamati kota asing. Tapi kota satu ini tidak asing juga. Ini kota penuh catatan merah dalam pengalaman kami. Pada satu tujuan kami memutuskan mengunjungi sebuah candi, Candi Badut. Duh, saya wegah badut-badutan. Terakhir kali nonton film horor yang salah satu karakternya badut, saya mengalami gangguan tidur selama lima jam.

Tapi tentu saja tidak ada badut yang begitu di candi. Saya cuma interupsi.

Saya memutuskan langsung masuk ke area candi tanpa membaca papan informasi yang terpasang di sudut. Semacam cara memahami candi itu tanpa pengetahuan yang kurang perlu.

Saya agak mbatin. Candi ini punya gaya ruang bagian dalam yang seharusnya tidak ditemukan pada candi jawatimuran. Dindingnya gemuk. Undakannya minim. Di ruang dalamnya sebuah arca lingga yoni lumayan besar dikelilingi bebungaan serba putih. Anehnya arca yoni di bagian bawah tertumpuk-tumpuk dengan susunan yang tidak jelas membuatnya seolah tidak ada. Saya mendekat dan memberi salam, lalu menyentuh arca lingga itu. Batu yang dingin. Saya merasa seperti memberi salam pada seorang laki-laki.

Di permukan batu-batu candi, ada goresan-goresan vandal. Kata-kata dan gambar yang menunjukkan seberapa beradab pengunjungnya. Arca lingga itu pun tidak luput jadi alas titi mangsa. Saya pernah di sini sebelumnya. 

Saya mencoba memahami kebutuhan manusia yang itu. Di suatu tempat orang-orang mengatur hukum tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di area-area khusus yang ditandai sebagai cagar budaya. Di sini beberapa orang mencoba menyibak kabut eksistensi dirinya. Batu-batu candi itu sudah tidak berguna lagi sebagai portal yang mengantar kita ke surga. Ia menjadi batu lagi. Orang-orang purba juga menulis di situ. Vandal di punggung-punggung gunung. Mereka mengambil dan merusak (?) apa yang perlu.  Lalu bagaimana hukum diputuskan dalam batas kebutuhan manusia? Manusia yang mana?

Saya bertanya pada rekan vakansi saya, "orang-orang yang mengukiri batu-batu ini, bagaimana kabarnya? Apa sepulang ke rumah sebuah musibah jatuh dari langit-langit kamar mandinya?"

Rekan saya tertawa.

Saya mengambil potret arca lingga itu. Juga bunga-bunga putihnya. Seketika saya menyadari keanehan lain. Sesaat sebelum kami masuk, seorang gadis menyelesaikan kunjungannya kembali ke mobil dengan plat DK. Ia memakai kaos putih. Saya jadi heran kenapa saya dan rekan saya hari itu juga mengenakan baju putih. Saya merasa kami menjadi bunga-bunga sajen di situ. Boreh telon, di hadapan laki-laki ini.

Saya kembali membayangkan tangan-tangan yang mengukir kata dan gambar-gambar itu. Tidakkah itu tangan laki-laki? Perempuan tentu saja punya peluang kenakalan yang sama dengan laki-laki. Tapi sulit membayangkan bahwa yang mengukir kata-kata dan gambar itu adalah perempuan. Tidakkah itu tangan laki-laki?

Kami menyelesaikan kunjungan kami sebelum pukul 11.30. Saya menyempatkan diri membaca papan informasi. Ya, candi ini ternyata memang dibangun dengan langgam jawatengahan. Ini adalah candi tertua dan ia dibangun oleh seorang laki-laki.

2019

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...