Langsung ke konten utama

Seperti Lagu Pop

malam memetik gitar itu lagi, menunduk menghitungi kord yang jatuh ke bumi
tanah dalam denting musik sedih, mengembangkan pohon-pohon
seorang anak jalanan bersuara dalam koran yang dipeluknya, esok mereka akan dipulangkan ke laut
sebagai sebuah lagu pop

tapi surabaya tidak bernyanyi di situ, kota yang dinafkahi diskusi sumbang
memungut matahari bekas 12 siang
ke dalam puisi ini

menggoyangkan jalan-jalannya
ke arah pantura, dan tagihan-tagihan belanja
membentuk koloni keruwetan di lembaran karcis bus
siapa kondektur di sini, mencatat bau sampo biduan yang membuang hatinya
di tepi brantas - ada iklan di situ
mengambang dengan warna keruh

ada kapal dalam lagu ini - kalau kau mau mengarangnya - berusaha membuka layarnya sendiri

angin membenturkan kunci-kunci di pohon, menaikkan tempo,  seperti merenungi pintu dalam sebuah puisi yang gagal ditulis

tapi orang-orang tenggelam di laut lain
seperti orang mati enggan kembali ke surabaya
yang kehilangan melodi dan senyumanmu
punggung mereka dibongkokkan kenangan buruk
tentang papan-papan nama
sekelompok paduan suara sunyi

meski tak ada waktu dalam pesta ulang tahun di bawah tanah
        hari akan bergulir ke hari di sini
orang-orang yang menutup lubang telinganya dengan angin
leher mereka tidak bisa tegak lagi
menyangga cinta yang putus dari laut jawa
hingga suralaya
hari akan bergulir ke hari
ke malam - di surabaya ini
tidak ada nada yang membungkus hati
seperti lagu pop


2019

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...