Kakek saya seorang tentara angkatan laut. Berpuluh tahun lalu, ia di dalam kapal selam negara menggumamkan wira ananta rudira dalam hati. Tabah sampai akhir. Sambil awas kalau radar, yang besarnya memenuhi enam puluh persen ruang mesin itu, menangkap benda-benda ganjil.
Tabah sampai akhir. Seandainya diselami, maka kalimat itu mungkin juga seperti samudra, yang biru namun hitam dasarnya. Dan kita bertaruh sampai batas dada kita menampung udara. Apa yang lebih membebani hidup ini selain ketabahan? Di antara kemungkinan yang mahaluas, kita berkali-kali menabrak dinding batas. Tampak dan tidak tampak. Kita merasakan sakitnya, merasakan darah kita sendiri.
Dan apakah kita memilih menjelajahi rimba ini dengan tunduk pada rasa sakit, atau mengobatinya dalam kesenyapan, kita mengukur panjang bumi ini dengan kaki dan tangan kita. Suatu hari kita mengukur tinggi langit itu juga, dengan kaki dan tangan kita.
Dan kita memanggul ketabahan di pundak. Sampai bongkok. Apakah ia akan menjelma sesuatu nanti, suatu hari, bukan kita yang memutuskannya. Kenapa kita harus memanggulnya? Saya tidak punya jawaban atas itu. Sebab seseorang punya pilihan untuk tidak tabah dan tetap berjalan di bumi.
Ke dalam samudra atau ke puncak langit, ada padang gelap yang menunggu pencapaian kita. Kenapa kita harus memanggul ketabahan, sementara kita tidak akan menikmati akhir perjalanan. Tidak pernah ada akhir perjalanan. Dan seseorang, puluhan, seratus kompi, menggumamkannya di dalam sebuah kapal, wira ananta rudira. Tampak dan tidak tampak. Mungkin hanya sekadar demi merasakan sakit, demi merasakan darah sendiri.
2019
Tabah sampai akhir. Seandainya diselami, maka kalimat itu mungkin juga seperti samudra, yang biru namun hitam dasarnya. Dan kita bertaruh sampai batas dada kita menampung udara. Apa yang lebih membebani hidup ini selain ketabahan? Di antara kemungkinan yang mahaluas, kita berkali-kali menabrak dinding batas. Tampak dan tidak tampak. Kita merasakan sakitnya, merasakan darah kita sendiri.
Dan apakah kita memilih menjelajahi rimba ini dengan tunduk pada rasa sakit, atau mengobatinya dalam kesenyapan, kita mengukur panjang bumi ini dengan kaki dan tangan kita. Suatu hari kita mengukur tinggi langit itu juga, dengan kaki dan tangan kita.
Dan kita memanggul ketabahan di pundak. Sampai bongkok. Apakah ia akan menjelma sesuatu nanti, suatu hari, bukan kita yang memutuskannya. Kenapa kita harus memanggulnya? Saya tidak punya jawaban atas itu. Sebab seseorang punya pilihan untuk tidak tabah dan tetap berjalan di bumi.
Ke dalam samudra atau ke puncak langit, ada padang gelap yang menunggu pencapaian kita. Kenapa kita harus memanggul ketabahan, sementara kita tidak akan menikmati akhir perjalanan. Tidak pernah ada akhir perjalanan. Dan seseorang, puluhan, seratus kompi, menggumamkannya di dalam sebuah kapal, wira ananta rudira. Tampak dan tidak tampak. Mungkin hanya sekadar demi merasakan sakit, demi merasakan darah sendiri.
2019
Komentar
Posting Komentar