Jika ditanyakan seorang prosais Indonesia yang mungkin berpengaruh besar pada ruang renung saya, salah satu jawabannya adalah Iwan Simatupang. Saya tidak banyak membaca, tapi dua karya Iwan, Ziarah (novel) dan Tegak Lurus dengan Langit (kumcer), langsung membangun kamar khusus di kepala saya sejak pertama kali membacanya delapan tahun lalu.
Satu yang paling sering saya baca ulang adalah cerpen "Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu" (dalam Tegak Lurus dengan Langit) .
Saya ingat meminjam buku di ruang baca kampus. Jilidannya sudah rusak. Saya baca cerpen itu di kantin fakultas, di bawah pohon mangga, di sisi sungai yang mengalir dari selatan ke utara. Lalu hati saya mendadak gerowak di akhir cerita.
Ada kegelapan pada dua tokoh yang gagal saya jangkau. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Seorang suami dan seorang istri. Sehampar, seceruk, setusuk warna labirin dalam negosiasi dan diplomasi yang asing, halus, dan tidak terbantah antara mereka.
Saya tidak pernah tahu bahwa sebuah kalimat, "Tunggu aku di pojok jalan itu, aku beli rokok dulu ke warung sana." bisa menciptakan pertaruhan dan peperangan antara dua esensi keberadaan manusia, cinta -seandainya itu ada, dan hidup, sebagai sebuah berkat sekaligus kutukan yang tidak terelakkan.
Dua tokoh utama itu tampil di hadapan saya seolah tarian yang penuh cibiran. Di bagian awal, saya menangkap unsur kesengajaan pada diri tokoh laki-laki, yang (Ya Tuhan!) berani kembali setelah tragedi yang ia ciptakan di perempatan jalan itu. Saya kagum dan tidak memahami bangun kepercayaan diri yang mewujud padanya. Sebuah kesombongan menghadapi dunia dan kemungkinan, yang tidak patut dicela, meski mengakibatkan si perempuan menemui alur hidup yang sama sekali baru dan di luar harapan-harapannya. Apa yang salah dengan kemungkinan yang sama sekali lain dan baru?
Sementara itu, tokoh perempuan memberi bekas tersendiri. Sebagai perempuan, saya hancur lantak menghadapi keberanian semacam itu. Saya nggak mampu. Sebuah tantangan yang terjawab melebihi ekspektasi.
Saya kira ketika suami memintanya untuk menunggu, ada pikiran tentang kemenangan dalam diri si lelaki yang akhirnya membuat si lelaki kembali. Setelah 10 tahun, yang ternyata tak juga memberikan jawaban atas pencarian apapun yang mungkin ditemukan.
"Ke mana?" perempuan itu menanyakan satu-satunya kejujuran yang tersisa dalam benaknya. Satu-satunya keingintahuan yang membuatnya bertahan di pojok jalan itu.
Satu-satunya pintu kekalahan yang hampir ia buka. Tapi pintu itu tidak segera menyerahkan diri. Dua tokoh itu adalah simbol kemenangan masing-masing, 'kan? Mereka nyatanya menolak untuk tunduk meski jiwa mereka pun sama-sama telah sehalus pasir, di tengah pusaran angin.
Perintah pendek laki-laki itu untuk menunggu membuat si perempuan meletakkan seluruh hidupnya di pojok jalan itu. Ia bertahan dan mengalahkan batas dirinya sendiri dengan menjadi pelacur, rumah singgah, bagi siapapun laki-laki yang datang ke pojok jalan itu. Selama ia masih tetap menunggu.
Kemenangan atas siapa yang diusahakannya itu? Untuk membuktikan diri pada si laki-laki? Untuk membuktikan diri di hadapan Kehidupan?
"Habis, kau suruh aku menunggu..." kata perempuan itu, dan terjungkarbaliklah seluruh ruang kemenangan dalam diri si laki-laki.
Salahmu. Salahmu! Begitu mungkin, maksud si perempuan. Duh, kemanusiaan, berapa harganya, pengorbanan dan perjuangan untuk mempertahankan diri ini. Dan di titik itu, saya gagal membaca wujud kemanusian yang terbentuk dalam diri mereka.
Saya gagal merinci detail pikiran dan pertimbangan mereka. Suatu kegigihan yang kompleks dan pasti pahit. Ada pemakluman, pengampunan bagi diri sendiri dan tentu saja pemahaman pengalaman yang luar biasa.
Di akhir cerita hanya sepenggal dialog si laki-laki membekas dalam kepala saya, "aku mengerti." Dialog yang tidak diucapkan, hanya termanifestasi dalam kepergian.
Kemudian saya timbang lagi, memang sebenarnya ada rasa humor (bukan parodi atau sinisme) sepanjang cerpen ini. Humor. Sebab dua tokoh itu tidak menunjukkan sudut negatif dalam sikapnya. Humor yang murni. Terutama dalam sikap tokoh menghadapi diri sendiri. Bahwa Kehidupan ini begitu, humor, dan murni (halah!), kita sering terlalu lemah untuk menertawakannya. (Halah halah!)
2019
Satu yang paling sering saya baca ulang adalah cerpen "Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu" (dalam Tegak Lurus dengan Langit) .
Saya ingat meminjam buku di ruang baca kampus. Jilidannya sudah rusak. Saya baca cerpen itu di kantin fakultas, di bawah pohon mangga, di sisi sungai yang mengalir dari selatan ke utara. Lalu hati saya mendadak gerowak di akhir cerita.
Ada kegelapan pada dua tokoh yang gagal saya jangkau. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Seorang suami dan seorang istri. Sehampar, seceruk, setusuk warna labirin dalam negosiasi dan diplomasi yang asing, halus, dan tidak terbantah antara mereka.
Saya tidak pernah tahu bahwa sebuah kalimat, "Tunggu aku di pojok jalan itu, aku beli rokok dulu ke warung sana." bisa menciptakan pertaruhan dan peperangan antara dua esensi keberadaan manusia, cinta -seandainya itu ada, dan hidup, sebagai sebuah berkat sekaligus kutukan yang tidak terelakkan.
Dua tokoh utama itu tampil di hadapan saya seolah tarian yang penuh cibiran. Di bagian awal, saya menangkap unsur kesengajaan pada diri tokoh laki-laki, yang (Ya Tuhan!) berani kembali setelah tragedi yang ia ciptakan di perempatan jalan itu. Saya kagum dan tidak memahami bangun kepercayaan diri yang mewujud padanya. Sebuah kesombongan menghadapi dunia dan kemungkinan, yang tidak patut dicela, meski mengakibatkan si perempuan menemui alur hidup yang sama sekali baru dan di luar harapan-harapannya. Apa yang salah dengan kemungkinan yang sama sekali lain dan baru?
Sementara itu, tokoh perempuan memberi bekas tersendiri. Sebagai perempuan, saya hancur lantak menghadapi keberanian semacam itu. Saya nggak mampu. Sebuah tantangan yang terjawab melebihi ekspektasi.
Saya kira ketika suami memintanya untuk menunggu, ada pikiran tentang kemenangan dalam diri si lelaki yang akhirnya membuat si lelaki kembali. Setelah 10 tahun, yang ternyata tak juga memberikan jawaban atas pencarian apapun yang mungkin ditemukan.
"Ke mana?" perempuan itu menanyakan satu-satunya kejujuran yang tersisa dalam benaknya. Satu-satunya keingintahuan yang membuatnya bertahan di pojok jalan itu.
Satu-satunya pintu kekalahan yang hampir ia buka. Tapi pintu itu tidak segera menyerahkan diri. Dua tokoh itu adalah simbol kemenangan masing-masing, 'kan? Mereka nyatanya menolak untuk tunduk meski jiwa mereka pun sama-sama telah sehalus pasir, di tengah pusaran angin.
Perintah pendek laki-laki itu untuk menunggu membuat si perempuan meletakkan seluruh hidupnya di pojok jalan itu. Ia bertahan dan mengalahkan batas dirinya sendiri dengan menjadi pelacur, rumah singgah, bagi siapapun laki-laki yang datang ke pojok jalan itu. Selama ia masih tetap menunggu.
Kemenangan atas siapa yang diusahakannya itu? Untuk membuktikan diri pada si laki-laki? Untuk membuktikan diri di hadapan Kehidupan?
"Habis, kau suruh aku menunggu..." kata perempuan itu, dan terjungkarbaliklah seluruh ruang kemenangan dalam diri si laki-laki.
Salahmu. Salahmu! Begitu mungkin, maksud si perempuan. Duh, kemanusiaan, berapa harganya, pengorbanan dan perjuangan untuk mempertahankan diri ini. Dan di titik itu, saya gagal membaca wujud kemanusian yang terbentuk dalam diri mereka.
Saya gagal merinci detail pikiran dan pertimbangan mereka. Suatu kegigihan yang kompleks dan pasti pahit. Ada pemakluman, pengampunan bagi diri sendiri dan tentu saja pemahaman pengalaman yang luar biasa.
Di akhir cerita hanya sepenggal dialog si laki-laki membekas dalam kepala saya, "aku mengerti." Dialog yang tidak diucapkan, hanya termanifestasi dalam kepergian.
Kemudian saya timbang lagi, memang sebenarnya ada rasa humor (bukan parodi atau sinisme) sepanjang cerpen ini. Humor. Sebab dua tokoh itu tidak menunjukkan sudut negatif dalam sikapnya. Humor yang murni. Terutama dalam sikap tokoh menghadapi diri sendiri. Bahwa Kehidupan ini begitu, humor, dan murni (halah!), kita sering terlalu lemah untuk menertawakannya. (Halah halah!)
2019
Komentar
Posting Komentar