Langsung ke konten utama

: Puisiku

Puisiku, kau menanggung kesalahanku dan pergi sedemikian jauhnya. Aku ingin membawamu padanya atau kau ingin membawaku padanya, sudah tidak terbedakan. Aku ingin katakan bahwa cintamu sudah sampai. Cintamu sudah sampai tapi tidak dibukakan pintu. Dan bahwa aku dan kau harus berhenti di sana, kau tidak bisa menjadi tamu yang menunggu. Aku tidak boleh. Kepercayaanku menjadikan rasa malu pada Tuhan seandainya aku tidak mengusahakan diri. Dan tentu saja, kita sudah berusaha. Sudah. Tapi aku telah gagal membawamu pulang ke rumah, kepadanya. Dan mungkin kesedihan kita ini harus bungkam dan mengunci diri. Bahwa kita telah mengetuk seribu kali sampai terdengar ke dasar bumi, pandanglah dirimu. Pandanglah aku. Kita tidak bisa menemukan lagi, bagian tubuh yang tak dihuni luka perjalanan ini. Harus kita sudahi, menepilah. Menepilah dan biarkan aku meneguk air sungai. Menyelamkan kedua telapak kakinya yang berkelupasan. Memudarlah dari pintu itu. Seperti warna larut di laut. Seperti wangi lesap. Seperti siut susut. Dan biarkan aku menatapi dirimu, setiap materi yang saling melepaskan genggaman tangan. Betapa lembutnya kepergian. Betapa manisnya kesedihan kita. Jangan ucapkan apapun, redamlah, suaramu, sakitmu. Tidak ada yang tahu bahwa kita sudah musnah. Ia pun.

2019

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...