Puisiku, kau menanggung kesalahanku dan pergi sedemikian jauhnya. Aku ingin membawamu padanya atau kau ingin membawaku padanya, sudah tidak terbedakan. Aku ingin katakan bahwa cintamu sudah sampai. Cintamu sudah sampai tapi tidak dibukakan pintu. Dan bahwa aku dan kau harus berhenti di sana, kau tidak bisa menjadi tamu yang menunggu. Aku tidak boleh. Kepercayaanku menjadikan rasa malu pada Tuhan seandainya aku tidak mengusahakan diri. Dan tentu saja, kita sudah berusaha. Sudah. Tapi aku telah gagal membawamu pulang ke rumah, kepadanya. Dan mungkin kesedihan kita ini harus bungkam dan mengunci diri. Bahwa kita telah mengetuk seribu kali sampai terdengar ke dasar bumi, pandanglah dirimu. Pandanglah aku. Kita tidak bisa menemukan lagi, bagian tubuh yang tak dihuni luka perjalanan ini. Harus kita sudahi, menepilah. Menepilah dan biarkan aku meneguk air sungai. Menyelamkan kedua telapak kakinya yang berkelupasan. Memudarlah dari pintu itu. Seperti warna larut di laut. Seperti wangi lesap. Seperti siut susut. Dan biarkan aku menatapi dirimu, setiap materi yang saling melepaskan genggaman tangan. Betapa lembutnya kepergian. Betapa manisnya kesedihan kita. Jangan ucapkan apapun, redamlah, suaramu, sakitmu. Tidak ada yang tahu bahwa kita sudah musnah. Ia pun.
2019
2019
Komentar
Posting Komentar