Langsung ke konten utama

Orang yang Membaca Puisi Gempa (1)

Seorang teman yang pasti sangat menyayangi saya (meski harus dipaksa dulu), menanyakan kabar puisi yang sebelumnya dia sarankan untuk direvisi. Untungnya sudah. Dia bisa ngambek kalau saya bilang belum, berpikir bahwa saya malas-malasan dan tidak mengindahkan kritik darinya. Dia tukang kritik.

Si Tukang Kritik ini agaknya lebih tertarik pada salah satu puisi: Puisi Gempa.

Sebelumnya dia mengaku tidak bisa menyentuh puisi itu karena puisi itu demikian penuh. Lalu setelah revisi pertama, ini yang disampaikannya:

Kekasih yang minta dimutilasi ta?

Saya bilang padanya tentang perbedaan dua subjek lirik yang muncul dalam puisi, ia dan kekasih. Ia itu normal, kekasih tidak. Saya bertanya padanya, kenapa ada kekasih yang sedemikian menjengkelkan?

Karena dia rasul dan tahu bakal nggak terpengaruh meskipun dunia hancur berkali-kali."Aku lho wis duwé omah nang surgo. Santeee."

Gusti. Ada kekasih yang sepercaya diri itu. Saya jadi sebal pada si Tukang Kritik ini. Kenapa sepertinya kamu pro sama kekasih? Dia bilang aku 'kan selalu pro pada orang-orang sombong.

Saya bilang, saya kasihan pada ia. Dia bilang dukung saja, sudah jadi pilihan ia untuk bersama kekasih. Lalu dia malah mengubah arah panah, dia menyasar saya. Dia bilang seharusnya saya yang disalahkan atas nasib ia. Bukankah saya dalangnya?

Dasar tukang kritik.

Haf. Dia tidak tahu dalam puisi itu saya cuma korban sebuah dongeng yang berakhir dengan tidak masuk akal. Dan saat suatu malam saya ingin minta tolong pada seorang kekasih, lahirlah kekasih. Yang percaya diri, tengil, dan tidak bisa disalahkan itu. Yang tidak menyediakan ruang untuk menyatakan sesuatu. Padahal saya ingin sekali. Ingin sekali -dengan huruf /i/ yang harus dibaca dalam lima ketukan.

Naasnya Puisi Gempa itu terjebak di sebuah halaman koran sebelum revisi kedua. Dan saya masih penasaran kalau ada pembaca di dunia ini yang sependapat dengan saya: betapa menjengkelkannya, kekasih.

2019

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...