Seorang teman yang pasti sangat menyayangi saya (meski harus dipaksa dulu), menanyakan kabar puisi yang sebelumnya dia sarankan untuk direvisi. Untungnya sudah. Dia bisa ngambek kalau saya bilang belum, berpikir bahwa saya malas-malasan dan tidak mengindahkan kritik darinya. Dia tukang kritik.
Si Tukang Kritik ini agaknya lebih tertarik pada salah satu puisi: Puisi Gempa.
Sebelumnya dia mengaku tidak bisa menyentuh puisi itu karena puisi itu demikian penuh. Lalu setelah revisi pertama, ini yang disampaikannya:
Kekasih yang minta dimutilasi ta?
Saya bilang padanya tentang perbedaan dua subjek lirik yang muncul dalam puisi, ia dan kekasih. Ia itu normal, kekasih tidak. Saya bertanya padanya, kenapa ada kekasih yang sedemikian menjengkelkan?
Karena dia rasul dan tahu bakal nggak terpengaruh meskipun dunia hancur berkali-kali."Aku lho wis duwé omah nang surgo. Santeee."
Gusti. Ada kekasih yang sepercaya diri itu. Saya jadi sebal pada si Tukang Kritik ini. Kenapa sepertinya kamu pro sama kekasih? Dia bilang aku 'kan selalu pro pada orang-orang sombong.
Saya bilang, saya kasihan pada ia. Dia bilang dukung saja, sudah jadi pilihan ia untuk bersama kekasih. Lalu dia malah mengubah arah panah, dia menyasar saya. Dia bilang seharusnya saya yang disalahkan atas nasib ia. Bukankah saya dalangnya?
Dasar tukang kritik.
Haf. Dia tidak tahu dalam puisi itu saya cuma korban sebuah dongeng yang berakhir dengan tidak masuk akal. Dan saat suatu malam saya ingin minta tolong pada seorang kekasih, lahirlah kekasih. Yang percaya diri, tengil, dan tidak bisa disalahkan itu. Yang tidak menyediakan ruang untuk menyatakan sesuatu. Padahal saya ingin sekali. Ingin sekali -dengan huruf /i/ yang harus dibaca dalam lima ketukan.
Naasnya Puisi Gempa itu terjebak di sebuah halaman koran sebelum revisi kedua. Dan saya masih penasaran kalau ada pembaca di dunia ini yang sependapat dengan saya: betapa menjengkelkannya, kekasih.
2019
Si Tukang Kritik ini agaknya lebih tertarik pada salah satu puisi: Puisi Gempa.
Sebelumnya dia mengaku tidak bisa menyentuh puisi itu karena puisi itu demikian penuh. Lalu setelah revisi pertama, ini yang disampaikannya:
Kekasih yang minta dimutilasi ta?
Saya bilang padanya tentang perbedaan dua subjek lirik yang muncul dalam puisi, ia dan kekasih. Ia itu normal, kekasih tidak. Saya bertanya padanya, kenapa ada kekasih yang sedemikian menjengkelkan?
Karena dia rasul dan tahu bakal nggak terpengaruh meskipun dunia hancur berkali-kali."Aku lho wis duwé omah nang surgo. Santeee."
Gusti. Ada kekasih yang sepercaya diri itu. Saya jadi sebal pada si Tukang Kritik ini. Kenapa sepertinya kamu pro sama kekasih? Dia bilang aku 'kan selalu pro pada orang-orang sombong.
Saya bilang, saya kasihan pada ia. Dia bilang dukung saja, sudah jadi pilihan ia untuk bersama kekasih. Lalu dia malah mengubah arah panah, dia menyasar saya. Dia bilang seharusnya saya yang disalahkan atas nasib ia. Bukankah saya dalangnya?
Dasar tukang kritik.
Haf. Dia tidak tahu dalam puisi itu saya cuma korban sebuah dongeng yang berakhir dengan tidak masuk akal. Dan saat suatu malam saya ingin minta tolong pada seorang kekasih, lahirlah kekasih. Yang percaya diri, tengil, dan tidak bisa disalahkan itu. Yang tidak menyediakan ruang untuk menyatakan sesuatu. Padahal saya ingin sekali. Ingin sekali -dengan huruf /i/ yang harus dibaca dalam lima ketukan.
Naasnya Puisi Gempa itu terjebak di sebuah halaman koran sebelum revisi kedua. Dan saya masih penasaran kalau ada pembaca di dunia ini yang sependapat dengan saya: betapa menjengkelkannya, kekasih.
2019
Komentar
Posting Komentar