Di seberang sungai belakang kampus, saya melihat serimbun pohon bunga matahari. Saya sering duduk di sisi sungai itu, tapi selama dua bulan ini, sesuatu sering mengurung saya di kamar sendiri.
Saya mendadak bahagia, siapa yang berbaik hati menanamnya di sana, di antara parkiran motor, semak, dan dinding bekas rumah dinas dosen yang luluh lantak. Langsung saja saya mengajak seorang teman untuk memetik bunga matahari itu.
Ternyata di area parkir belakang kampus, tumbuh beberapa pohon juga. Berarti benar ada yang sengaja menanamnya di sana. Kami perlu berhati-hati dalam misi ini.
Setangkai matahari gemuk memamerkan wajah pada kami. Aih, alangkah cantiknya. Kami petik sini petik sana. Sambil awas kalau-kalau seseorang menegur kami dari belakang.
Saat merasa cukup, kami kumpulkan bunga matahari hasil petikan itu menjadi serangkai. Teman saya berkelakar, "sekarang aku siap jadi pengantin."
Kami berjalan ke luar area parkir di saat yang sama seorang laki-laki tua melintas dan memandangi kami. Sudah tentu. Kami menelan ludah diam-diam. Saat kami mendekat laki-laki tua itu ambil bicara,
"Mbak-nya mau ta? Ada banyak itu bijinya sudah kering bisa ditanam. Yang itu masih muda, tidak bisa ditanam."
Kami ini pencuri, Pak. Pencuri !
Sebelumnya kami bahkan memutuskan mengambil alih kebun matahari itu atas nama kami.
"O, ini tadi lihat dari seberang sungai, Pak, kok cantik jadi kepingin."
"Kalau mau nanam, sebentar, tunggu saya kasih yang sudah kering. Itu saya yang kok yang nanam di situ."
Ya. Jadi Bapak pemilik sahnya.
Saya sempat mengira bahwa pihak universitas yang mungkin agak waras memberi sentuhan manis ke kampus yang kerontang ini.
Kami diajak ke rumahnya tepat di sebelah lahan parkir. Bapak itu punya kebun kecil yang tertata acak dan manis sekali. Seorang laki-laki yang menanam dan merawat kebun. Seorang yang menghayati daun gugur.
Bapak itu kembali dengan segenggam biji bunga matahari. Beliau mencontohkan cara menanamnya.
"Kalau ada temannya mau, ajak ke sini saja. Banyak kok. Itu juga banyak."
Saya bilang pada teman saya selagi Bapak itu di dalam tadi, "Bapak itu kebaikannya tumbuh. Dia menanam untuk mempercantik kebun yang bukan miliknya. Tanpa sengaja orang aneh seperti kita melihat bunganya dan jadi bahagia. Sekarang dia memberi kita bijinya, untuk untuk menumbuhkan kebahagiaan yang lain."
Ya, kebaikan sepertinya harus dituntaskan sebagai kebaikan. Apakah nanti akan menjadi sebuah pohon yang menaungi seseorang atau tidak, tanam saja. Mungkin seekor semut, seekor semut purba, dalam perjalanannya kembali dari tempat yang dalam sekali, haus lalu minum pada akarnya. Tanam saja.
Saya mendadak bahagia, siapa yang berbaik hati menanamnya di sana, di antara parkiran motor, semak, dan dinding bekas rumah dinas dosen yang luluh lantak. Langsung saja saya mengajak seorang teman untuk memetik bunga matahari itu.
Ternyata di area parkir belakang kampus, tumbuh beberapa pohon juga. Berarti benar ada yang sengaja menanamnya di sana. Kami perlu berhati-hati dalam misi ini.
Setangkai matahari gemuk memamerkan wajah pada kami. Aih, alangkah cantiknya. Kami petik sini petik sana. Sambil awas kalau-kalau seseorang menegur kami dari belakang.
Saat merasa cukup, kami kumpulkan bunga matahari hasil petikan itu menjadi serangkai. Teman saya berkelakar, "sekarang aku siap jadi pengantin."
Kami berjalan ke luar area parkir di saat yang sama seorang laki-laki tua melintas dan memandangi kami. Sudah tentu. Kami menelan ludah diam-diam. Saat kami mendekat laki-laki tua itu ambil bicara,
"Mbak-nya mau ta? Ada banyak itu bijinya sudah kering bisa ditanam. Yang itu masih muda, tidak bisa ditanam."
Kami ini pencuri, Pak. Pencuri !
Sebelumnya kami bahkan memutuskan mengambil alih kebun matahari itu atas nama kami.
"O, ini tadi lihat dari seberang sungai, Pak, kok cantik jadi kepingin."
"Kalau mau nanam, sebentar, tunggu saya kasih yang sudah kering. Itu saya yang kok yang nanam di situ."
Ya. Jadi Bapak pemilik sahnya.
Saya sempat mengira bahwa pihak universitas yang mungkin agak waras memberi sentuhan manis ke kampus yang kerontang ini.
Kami diajak ke rumahnya tepat di sebelah lahan parkir. Bapak itu punya kebun kecil yang tertata acak dan manis sekali. Seorang laki-laki yang menanam dan merawat kebun. Seorang yang menghayati daun gugur.
Bapak itu kembali dengan segenggam biji bunga matahari. Beliau mencontohkan cara menanamnya.
"Kalau ada temannya mau, ajak ke sini saja. Banyak kok. Itu juga banyak."
Saya bilang pada teman saya selagi Bapak itu di dalam tadi, "Bapak itu kebaikannya tumbuh. Dia menanam untuk mempercantik kebun yang bukan miliknya. Tanpa sengaja orang aneh seperti kita melihat bunganya dan jadi bahagia. Sekarang dia memberi kita bijinya, untuk untuk menumbuhkan kebahagiaan yang lain."
Ya, kebaikan sepertinya harus dituntaskan sebagai kebaikan. Apakah nanti akan menjadi sebuah pohon yang menaungi seseorang atau tidak, tanam saja. Mungkin seekor semut, seekor semut purba, dalam perjalanannya kembali dari tempat yang dalam sekali, haus lalu minum pada akarnya. Tanam saja.
Komentar
Posting Komentar