Langsung ke konten utama

Bunga Matahari

Di seberang sungai belakang kampus, saya melihat serimbun pohon bunga matahari. Saya sering duduk di sisi sungai itu, tapi selama dua bulan ini, sesuatu sering mengurung saya di kamar sendiri.

Saya mendadak bahagia, siapa yang berbaik hati menanamnya di sana, di antara parkiran motor, semak, dan dinding bekas rumah dinas dosen yang luluh lantak. Langsung saja saya mengajak seorang teman untuk memetik bunga matahari itu.

Ternyata di area parkir belakang kampus, tumbuh beberapa pohon juga. Berarti benar ada yang sengaja menanamnya di sana. Kami perlu berhati-hati dalam misi ini.

Setangkai matahari gemuk memamerkan wajah pada kami. Aih, alangkah cantiknya. Kami petik sini petik sana. Sambil awas kalau-kalau seseorang menegur kami dari belakang.

Saat merasa cukup, kami kumpulkan bunga matahari hasil petikan itu menjadi serangkai. Teman saya berkelakar, "sekarang aku siap jadi pengantin."

Kami berjalan ke luar area parkir di saat yang sama seorang laki-laki tua melintas dan memandangi kami. Sudah tentu. Kami menelan ludah diam-diam. Saat kami mendekat laki-laki tua itu ambil bicara,

"Mbak-nya mau ta? Ada banyak itu bijinya sudah kering bisa ditanam. Yang itu masih muda, tidak bisa ditanam."

Kami ini pencuri, Pak. Pencuri !

Sebelumnya kami bahkan memutuskan mengambil alih kebun matahari itu atas nama kami.

"O, ini tadi lihat dari seberang sungai, Pak, kok cantik jadi kepingin."

"Kalau mau nanam, sebentar, tunggu saya kasih yang sudah kering. Itu saya yang kok yang nanam di situ."

Ya. Jadi Bapak pemilik sahnya.

Saya sempat mengira bahwa pihak universitas yang mungkin agak waras memberi sentuhan manis ke kampus yang kerontang ini.

Kami diajak ke rumahnya tepat di sebelah lahan parkir. Bapak itu punya kebun kecil yang tertata acak dan manis sekali. Seorang laki-laki yang menanam dan merawat kebun. Seorang yang menghayati daun gugur.

Bapak itu kembali dengan segenggam biji bunga matahari. Beliau mencontohkan cara menanamnya.

"Kalau ada temannya mau, ajak ke sini saja. Banyak kok. Itu juga banyak."

Saya bilang pada teman saya selagi Bapak itu di dalam tadi, "Bapak itu kebaikannya tumbuh. Dia menanam untuk mempercantik kebun yang bukan miliknya. Tanpa sengaja orang aneh seperti kita melihat bunganya dan jadi bahagia. Sekarang dia memberi kita bijinya, untuk untuk menumbuhkan kebahagiaan yang lain."

Ya, kebaikan sepertinya harus dituntaskan sebagai kebaikan. Apakah nanti akan menjadi sebuah pohon yang menaungi seseorang atau tidak, tanam saja. Mungkin seekor semut, seekor semut purba, dalam perjalanannya kembali dari tempat yang dalam sekali, haus lalu minum pada akarnya. Tanam saja.

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...