Langsung ke konten utama

Tarik layarnya, Luffy!

Di tengah badai, sebuah kapal memang harus menurunkan kain layar. Agar angin tidak merusaknya dan kapal bisa kembali berlayar setelah badai reda.

15 Desember 2018
Kami akan mengingat bahwa jalan ini telah kami tandai sebagai sebuah pintu tertutup. Kami telah dengan sendirinya masuk dan tak dapat keluar. Di balik pintu itu kenyataan-kenyataan, kebenaran-kebenaran yang tidak bisa diterima oleh orang lain. Kami simpan sendiri.

Sebab kami bukan bergerak untuk kebenaran-kebenaran itu. Kami bergerak untuk sebuah rahasia yang tidak kami tahu: di ujung dunia sana!

Saya tidak pernah membayangkan akan menempuh jalan semacam ini. Tapi saya telah melihat, dunia dipenuhi godaan-godaan, prasangka yang manja, api yang disulut oleh orang lain.

Hari ini menandai sebuah pencapaian proses kami sebagai tim. Orang-orang bicara dan tidak mendengar. Keterbatasan dan pengetahuan kami memaksa kami memilih bungkam. Ada ternyata, suara-suara yang bisa merampas jiwa satu-persatu di antara kami selama perjalanan. Flying Dutchman ! Mitos-mitos dari dasar laut yang dingin dan gulita. Kami mendengar nama kami dipanggil, dan kami menjaga satu sama lain agar tidak menyahut. Api itu, si tukang jagal. Kenapa orang-orang suka memakan jiwa yang lain?

Di sebuah episode One Piece, Nami berteriak dari geladak kendali, "halau ombaknya, Zoro, Sanji!" Teman-teman berlari ke sana ke sini, bingung dan tidak bingung atas apa yang harus dilakukannya selama badai. Apa yang bisa diusahakannya demi menjaga kapal? "Tarik layarnya, Luffy!"

Dua hari sebelum 15 Desember, saya mengajak teman-teman berlatih dengan main petak umpet di halaman parkir mobil kampus. Kami berjaga di sebuah tiang bendera besar di sisi tengah. Sebuah tali tampar mengikat bendera yang berkibar di ujung tiang. Sembari menunggu yang sedang bersembunyi muncul, saya berkelakar, "tarik layarnya, Luffy!" lalu seorang teman mengolok, "gila!"

Kami cuma anak-anak sore itu. Hari ini, besok, kami menebak-nebak akan jadi apa. Que sera, sera. Kami berlari dan berusaha memenangkan permainan. Tapi di akhir segalanya: kami membiarkan diri kami kalah dan berjaga demi yang lain untuk bisa menikmati sebuah pengalaman.

Kebetulan yang ngeri, bahwa saat ini kami memang tengah harus menurunkan layar kapal kami. Kenyataan-kenyataan, kebenaran-kebenaran yang mengiringinya, biar kami simpan sendiri. Bahwa ada pertimbangan yang sulit, yang tidak mau didengar orang-orang yang terus bicara. Tapi kami tidak akan membiarkan jiwa kami dimakan: api yang disulut orang lain.

Tarik layarnya! Tidak ada kapal yang sampai berlabuh di pulau-pulau jauh bila tidak melalui laut yang lebat. Dan tukang jagal itu: The Flying Dutchman dari dasar laut.

2018

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...