Langsung ke konten utama

Mimik dan Emotikon

Cinta dan kesedihan kita hanya seukuran emotikon.

Bagi seorang aktor, garis-garis wajah bukanlah kerutan penuaan yang musti disamarkan dengan krim seharga 5 bahkan 30 juta. Garis-garis itu justru dicari. Dilatih untuk menampakkan diri dan menyampaikan diri. Garis-garis wajah adalah aset. Bahkan bila ia berada di sebalik topeng. Tidak ada aktor yang berkomunikasi dengan meninggalkan wajahnya.

Mimik, jalinan garis-garis wajah itu, mengiringi tiap rangkaian pesan oleh tubuh secara keseluruhan. Ia tentu mewujud oleh teknik, tetapi terlebih dulu yang musti diingat adalah ia bukan kepalsuan apalagi kekosongan. Mimik lahir oleh penghayatan, emosi dan kesadaran yang saling kait seperti gir poros, menggerakkan tubuh wadag.

Saya bertanya kepada seorang teman, kelahiran tahun 2000, "siapa orang paling seru yang kamu kenal?" Ia menjawab, "kakak laki-lakiku." Saya bertanya lagi, "siapa orang paling ekspresif yang kamu kenal?" Ia jawab, "mmm, kamu." Sungguh jawaban yang menyedihkan.

Bukan lantaran saya menjadi bagian dari situasi komedik itu tapi sebab ternyata referensi jawaban dari kedua pertanyaan tersebut adalah orang-orang satu generasi di atasnya. Apa ia tidak punya teman-teman yang seru?

Teman saya itu seorang aktor. Ia tengah terlibat sebuah proses pementasan teater sebagai tokoh utama. Saya mengamati proses pencarian yang dilakukannya untuk menemukan bentuk-bentuk emosi dan gestur yang dibutuhkan naskah. Saya mengamati kesehariannya. Dia dan teman-teman sebayanya.

Aneh. Saya hampir tidak pernah mendapati gerumbulan itu terlibat pada sebuah situasi ekspresif yang berarti. Pembicaraan antara mereka berjalan di jalur landai. Tidak ada ledakan, percikan api, ketika beberapa hal sentimentil terjadi. Ruang konflik mereka bergerak namun tidak menampilkan apapun ke permukaan.

Saya iseng bertanya, "kapan momen paling sedih terjadi selama hidupmu ini?" Tidak ada jawaban. Kepada teman-teman lain kelahiran tahun 2000 itu, saya juga mendapat temuan serupa.

Bukankah kita seorang aktor?

Sementara teater masih mempercayai bahwa latihan terbaik adalah kehidupan itu sendiri, hari ini seorang aktor digoda oleh jalur-jalur komunikasi di luar tubuhnya. Kita tidak lagi membaca raut wajah, sorot mata, otot bahu. Hati kita sudah diwakili oleh emotikon yang kita kirim di roomchat.

Selisih masa antara generasi saya dan generasi kelahiran 2000 itu, menentukan jarak antara emosi dan tubuh. Ketika hari ini jutaan, mungkin milyaran, emotikon diproduksi, ada fitur mendesain stiker mandiri, betapa serunya!

Gambar-gambar itu rancak dan meriah, garis-garis mereka karikatural. Dan para aktor? Kita semakin minimalis. Saya tidak membayangkan tubuh yang tergerus. Tapi saya berdoa dalam hati, semoga dijauhkan dari kemiskinan, ini dan itu.

2018

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...