Langsung ke konten utama

Jadi Cinderella

Han, susah ya jadi Cinderella. Yang baik dan lembut hatinya. Sementara kita terburu-buru dibayangi kedatangan seorang peri penolong dan pangeran yang neriman. Semua itu tidak ada.
Tapi aku masih ingin jadi Cinderella. Yang lemes tapi jejeg. Mingkem dan mendem. Mendem dan mendem. Bagi dirinya sendiri.
Han, jangan marah padaku. Aku akan menolong diriku sendiri setelah menolong orang lain. Jangan marah kalau aku ngalem dan lemes. Sebab rasanya dada ini berlubang, tembus ke belakang. Aku jadi sundel bolong yang tidak bisa terbang dan ketawa hihihi. Aku tidak bisa ketawa sama sekali. Makanya biar aku jadi Cinderella saja. Yang akan menolong dirinya sendiri dan menolong orang lain. Aku tidak minta dikirimi ibu peri dan pangeran. Aku cuma minta jangan marah padaku. Jangan marah padaku sebab diam-diam mulutku ini pingin sambatan. Dan tanganku sering kupandangi: kosong. Han, Kamulah Segalanya. Di tanganku tidak ada apa-apa. Sementara lubang itu isinya, cuma satu kalimat. Kok begini ya? - yang akan kurang ajar kalau disampaikan. Dibunyikan.
Tapi begitu itu karena ada perbandingan dalam hidup ini, Han. Kita jadi sedih dan gak kerasan karena tahu rasanya bahagia dan betah begitu.
Matur nuwun, Han, sudah diparingi yang baik-baik. Semoga aku bisa terus maringi yang baik-baik.

19 Desember 2018

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...