Suatu hari kita hanya ingin bernafas. Menyadari betapa ia berharga, seolah kemarin kita belum mendapatkannya.
Seandainya semudah itu mengingat setiap hari adalah baru. Akankah kita lupa cara tersenyum dan merasa lega? Apa yang kita lakukan - seumur hidup ini- mengapa orang-orang begitu sulit memahami.
Bahasa yang mewujud dalam bunyi-bunyi yang kita hafal, mengantarkan pesan dan burung-burung. Dalam kesederhanaan itu segalanya justru sulit. Orang-orang hanya melihat hal besar: cita-cita, pencapaian, ia yang kita genggam di tangan. Tapi semenjak itu juga, segala yang lain menjadi terhalangi.
Seseorang berpikir tentang mati - ribuan kali. Namun dunia ini selalu menjadi pantas dibela. Tapi mengapa tidak ada yang bisa membaginya: untuk apa sebenarnya dunia ini dibela?
Kepedihan, ketidakmengertian yang gelap, ruang paling sederhana milik orang lain. Seperti sebuah rumah inti yang sakral.
Lebam di balik baju, di kiri dada, orang-orang melihat sesuatu yang pantas. Khayalan-khayalan bertumpuk, bertumbukan pada cermin yang menjawab tanpa bicara. Melihat mata itu, merumuskan warna dan suhunya. Ia menjanjikan diri dalam sumpah yang tidak diucapkan dengan kata-kata.
Tapi suatu hari, kesederhanaan yang dimaksudkan terpatah. Serbuk kayu yang mengejar ujung angin. Mungkin saja, ia menyembunyikan keinginannya tumbuh. Serbuk yang membayangkan dirinya hijau. Dan bernafas.
Memang ia lahir dari sesuatu yang telah terbakar.
2018
Seandainya semudah itu mengingat setiap hari adalah baru. Akankah kita lupa cara tersenyum dan merasa lega? Apa yang kita lakukan - seumur hidup ini- mengapa orang-orang begitu sulit memahami.
Bahasa yang mewujud dalam bunyi-bunyi yang kita hafal, mengantarkan pesan dan burung-burung. Dalam kesederhanaan itu segalanya justru sulit. Orang-orang hanya melihat hal besar: cita-cita, pencapaian, ia yang kita genggam di tangan. Tapi semenjak itu juga, segala yang lain menjadi terhalangi.
Seseorang berpikir tentang mati - ribuan kali. Namun dunia ini selalu menjadi pantas dibela. Tapi mengapa tidak ada yang bisa membaginya: untuk apa sebenarnya dunia ini dibela?
Kepedihan, ketidakmengertian yang gelap, ruang paling sederhana milik orang lain. Seperti sebuah rumah inti yang sakral.
Lebam di balik baju, di kiri dada, orang-orang melihat sesuatu yang pantas. Khayalan-khayalan bertumpuk, bertumbukan pada cermin yang menjawab tanpa bicara. Melihat mata itu, merumuskan warna dan suhunya. Ia menjanjikan diri dalam sumpah yang tidak diucapkan dengan kata-kata.
Tapi suatu hari, kesederhanaan yang dimaksudkan terpatah. Serbuk kayu yang mengejar ujung angin. Mungkin saja, ia menyembunyikan keinginannya tumbuh. Serbuk yang membayangkan dirinya hijau. Dan bernafas.
Memang ia lahir dari sesuatu yang telah terbakar.
2018
Komentar
Posting Komentar