Kalau bisa, saya ingin menjadi yang lain. Bukan telaga. Diam dan dalam.
Maghrib menjelang musim hujan. Dua minggu lalu hujan pertama turun di Surabaya tapi saya melewatkannya. Berhari-hari angin dingin lewat di depan rumah. Musim menyusup ke kamar saya juga. Pertimbangan-pertimbangan menjauhkan saya dari diri saya sendiri. Lalu saya memutuskan untuk me- ... mencabut diri.
Saya akhirnya, menemukan cara untuk melepaskan diri dari situasi duniawi ini. Orang-orang yang menyebut tindakan ini idealis, sungguh keliru. Sebab saya justru sedang berkompromi agar saya tetap hidup. Daripada dipenuhi keluhan-keluhan setiap bangun pagi. Saya terlanjur berjanji untuk hidup tanpa penyesalan.
Entah dari mana. Saya merasa kegilaan-kegilaan yang telah saya tahan begitu lama, menemukan celah dan jalan ke luar ke dunia. Dunia yang melahirkannya. Saya toh menoleh ke kanan-kiri saya: tidak ada apa-apa. Tidak siapa-siapa. Saya merasa bisa menyerahkan seluruh dunia ini pada hal-hal yang paling tidak berharga.
Dan bahwa orang-orang hanya melihat permukaan telaga. Dan pantulan wajahnya sendiri. Betapa egoisnya, orang-orang yang tidak mau tahu dasar telaga.
Seperti telaga, saya tidak punya pintu, tapi tidak ada yang mau memasukinya. Mungkin juga bukan salah siapa-siapa. Saya seharusnya tidak mengeluh sebagai telaga.
2018
Maghrib menjelang musim hujan. Dua minggu lalu hujan pertama turun di Surabaya tapi saya melewatkannya. Berhari-hari angin dingin lewat di depan rumah. Musim menyusup ke kamar saya juga. Pertimbangan-pertimbangan menjauhkan saya dari diri saya sendiri. Lalu saya memutuskan untuk me- ... mencabut diri.
Saya akhirnya, menemukan cara untuk melepaskan diri dari situasi duniawi ini. Orang-orang yang menyebut tindakan ini idealis, sungguh keliru. Sebab saya justru sedang berkompromi agar saya tetap hidup. Daripada dipenuhi keluhan-keluhan setiap bangun pagi. Saya terlanjur berjanji untuk hidup tanpa penyesalan.
Entah dari mana. Saya merasa kegilaan-kegilaan yang telah saya tahan begitu lama, menemukan celah dan jalan ke luar ke dunia. Dunia yang melahirkannya. Saya toh menoleh ke kanan-kiri saya: tidak ada apa-apa. Tidak siapa-siapa. Saya merasa bisa menyerahkan seluruh dunia ini pada hal-hal yang paling tidak berharga.
Dan bahwa orang-orang hanya melihat permukaan telaga. Dan pantulan wajahnya sendiri. Betapa egoisnya, orang-orang yang tidak mau tahu dasar telaga.
Seperti telaga, saya tidak punya pintu, tapi tidak ada yang mau memasukinya. Mungkin juga bukan salah siapa-siapa. Saya seharusnya tidak mengeluh sebagai telaga.
2018
Komentar
Posting Komentar