Langsung ke konten utama

Ruang Nonsens

Saya bertanya kepada seorang teman,
"Ding, kenapa aku tidak boleh miskin?"

Beberapa tahun lalu, saya dan teman-teman melakukan percobaan seru, menguji massa. Kami melihat sebuah jurang, antara kami dan masa depan, dan orang-orang selain kami. Kami ada di mana?
Seorang penyair menulis di puisinya, aku berdiri bukan timur dan duduk bukan barat. Saya memikirkan matahari.
Saya memikirkan sebuah pagi, saya terbangun dan membuka jendela, mengatakan "hari ini sudah tidak ada matahari." Sebuah waktu nol.
Saya merasa memahami dunia. Tapi hari ini saya tengah terikat dalam apa yang kemarin saya pahami itu. Saya bukan gadis kecil di luar pagar taman bermain. Saya bukan lagi.
Hari ini saya di dalam taman bermain. Menjadi yang ditonton oleh saya yang pernah menonton. Tapi di sana, tidak ada lagi yang berdiri menggenggam ruas pagar. Tidak ada. Tidak ada siapapun. Tidak ada siapapun yang akan memanggil nama saya dan mengeluarkan saya dari taman bermain ini.

"Allie, jangan biarkan aku hilang," kata Holden di sebuah penyeberangan.
Duh, Tuhan, seandainya saya ada di sebuah penyeberangan. Tapi tempat ini bukan penyeberangan. Bukan jembatan apalagi laut.

Akhirnya, saya bisa menjelaskan kenapa saya menghukum dunia ini dengan pengabaian.
Bagi beberapa orang, ada beberapa pekerjaan. Ada hidup tertentu. Saya bukan menolak konsep kedewasaan. Tapi bahwa ukurannya tidak selamanya universal.
Dalam rutinitas, hari ini saya melihat, di dalam dunia orang dewasa, tidak ada yang benar-benar bergerak. Pseudo-moving. Kalau pun ada, ide rutinitas telah mengubahnya menjadi nonsens. Setiap gerakan yang muncul adalah rancang tertentu, keriangan palsu.
Maka sebenarnya, tidak ada ruang bagi kreatifitas, mimpi, dan cinta. Apa-apa yang berusaha 'digapai' adalah semangat hidup yang kosong. Tidak ditujukan untuk kenikmatan apapun - selain angka.
Negara mengukur dirinya dari tingkat kemiskinan, dan mengusahakan diri untuk menangani hal itu. Rutinitas menjadi mode yang diselipkan di antara kejaran-kejaran. Tapi persetan soal negara. Saya sedang bicara tentang menyelamatkan diri dari stigma hubungan antara hidup dan uang, dan rutinitas yang menyelip begitu halus sebagai bentuk lain dari 'pemaksaan'.
Saya bersumpah akan membebaskan diri saya dari jeratannya.
Bahwa tentu saja, ini bukan cara seorang bajak laut hidup. Saya melihat ke atas, di atas saya. Lapisan-lapisan kuasa. Bukan lapisan-lapisan pencapaian.

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...