Seorang teman menelepon untuk berdiskusi tentang adiknya yang gagal masuk PTN. Ia bilang si adik akan jadi korban ide masa depan orang tuanya. Kami berdua, sudah jadi korban lebih dulu.
Mungkin pernah saya tuliskan bahwa saya tidak tumbuh dewasa sebagai remaja yang menutup pintu keras-keras dan membakar tempat tidurnya sendiri setelah sebuah malam pertengkaran hebat dengan ibu atau ayahnya atau ibu dan ayahnya sekaligus. Saya dewasa sejak masih TK, dan kini saya masih seorang gadis kecil walau umur lewat dua puluh tiga.
Banyak hal yang saya tolelir dalam jiwa saya yang keras dan karatan ini. Saya terbiasa mengamati dan menimang hikmah, sekalipun ia tidak benar-benar ada. Ada dua orang perempuan paling penting yang membentuk kepribadian saya: ibu dan nenek saya. Dua orang perempuan yang saling berteriak mengkritik cara yang lain. Aku yang benar kamu yang salah. Kamu keliru aku yang paling tahu.
Tuhan pasti meniatkan saya menjadi titah adi. (Ah, Kesombongan ini lagi!) Maka di dalam pertarungan dua ayam betina, eh, bukan, dua ratu lebah itu, saya dianugerahi indera dan akal yang peka sekali. Sepanjang pengamatan saya, seorang anak yang menolak diri orang tuanya, lebih sering terjerumus menjadi kopian orang tuanya di kemudian hari. (Tanpa sadar) Melakukan yang dilakukan orang tuanya dulu padahal visi hidupnya adalah, "tidak mau jadi seperti mama."- "Tidak akan melakukan yang dilakukan papa."
Saya sungguh belajar banyak dari keganjilan-keganjilan logika ibu saya atas nenek saya itu. Saya mencoba menelusuri, seandainya protes-protes itu boleh kita sebut 'kebencian', dari manakah datangnya? Mengapa ia justru hadir kembali di titik yang tepat persis titik yang ingin dihindari. Mengapa ada kritik yang gagal menjadi autokritik?
Lalu saya mendapati bayang-bayang.
Dalam menilai orang lain, orang tua kita misalnya, ada bayang-bayang yang sering kali gagal kita kenali. Kita merasa melihat segalanya dengan jernih. Lalu dalam proses penerapan diri, ada permenungan yang tidak genep. Tapi karena sedari awal tidak kita tahu bayang-bayang itu, maka kita pun tidak merasa tidak genep dalam penjelmaan kembali itu. Kita merasa otomatis berhasil melakukan autokritik setelah berhasil mengkritik.
Banyak hal bayang-bayang itu. Ia bukan hanya soal jarak dan sudut pandang. Pertama, bahwa sebermula kita yang muda ini belum pernah punya pengalaman tua. Sementara yang tua, sudah pasti punya pengalaman muda. Kedua, bahwa sedasarnya, sudut pandang seseorang tidak akan pernah tersentuh persis dengan sudut pandang orang lain. Kita ini diri masing-masing. Maka bagaimanakah kita menjadi benar persis ketika menilai orang lain, merasa membaca kesalahan dan kebenarannya. Sementara, mataku adalah mataku, matamu adalah matamu. Lalu, ketiga, keempat, kelima..
Bayang-bayang itu juga soal waktu. Ada 'ketidaktahuan', yang selamanya menjadi rahasia dan kegaiban masa depan. Ia adalah kemungkinan-kemungkinan tidak terjangkau yang tidak pernah kita hormati. Emosi dan keinginan meledakkan kesombongan kita akan segala hal. Kita jadi lupa bahwa selalu ada yang rahasia dan mengejutkan. Kegaiban yang tidak kita hayati itu bisa menjelma bumerang bagi diri kita yang kurang mawas ini. Sejurus saja keyakinan kita membuncah dan bergema, "aku tidak akan meniru mama."
Padahal apalah kita ini dibanding bayang-bayang - yang rahasia dan gaib?
Lalu apa yang saya lakukan? Sampai hari ini, saya asyik mengumpulkan sudut pandang. Ada hal-hal yang tidak bisa dibaca nenek atas ibu saya. Ada hal-hal yang lupa disyukuri ibu pada nenek saya. Hal-hal itu berbalik, menjadi bumerang berantai yang mengancam saya. Ada tiga hal yang mungkin terjadi: saya ikut jadi korban bumerang itu, memutus rantainya, atau menangkap bumerangnya.
Orang tua kita, yang berakhir dengan (tanpa sadar) mengopi orang tuanya, adalah korban yang paling malang sebelum diri kita ini. Selalu. Selalu lebih malang. Sebab mereka terbukti termakan menjadi mata rantai. Kita yang masih muda ini masih punya kesempatan mengenalinya. Ada bayang-bayang: kemungkinan, ketidaktahuan pada ruang paling genap sekali pun.
Maka saya selalu iseng mengatakan bahwa saya masih seorang gadis kecil. Orang-orang menuduh saya, "kamu mau menolak jalannya waktu?" Saya katakan bahwa tentu saja saya akan menjadi tua. Tapi selalu saya tambahkan, "kalau sempat."
Mungkin pernah saya tuliskan bahwa saya tidak tumbuh dewasa sebagai remaja yang menutup pintu keras-keras dan membakar tempat tidurnya sendiri setelah sebuah malam pertengkaran hebat dengan ibu atau ayahnya atau ibu dan ayahnya sekaligus. Saya dewasa sejak masih TK, dan kini saya masih seorang gadis kecil walau umur lewat dua puluh tiga.
Banyak hal yang saya tolelir dalam jiwa saya yang keras dan karatan ini. Saya terbiasa mengamati dan menimang hikmah, sekalipun ia tidak benar-benar ada. Ada dua orang perempuan paling penting yang membentuk kepribadian saya: ibu dan nenek saya. Dua orang perempuan yang saling berteriak mengkritik cara yang lain. Aku yang benar kamu yang salah. Kamu keliru aku yang paling tahu.
Tuhan pasti meniatkan saya menjadi titah adi. (Ah, Kesombongan ini lagi!) Maka di dalam pertarungan dua ayam betina, eh, bukan, dua ratu lebah itu, saya dianugerahi indera dan akal yang peka sekali. Sepanjang pengamatan saya, seorang anak yang menolak diri orang tuanya, lebih sering terjerumus menjadi kopian orang tuanya di kemudian hari. (Tanpa sadar) Melakukan yang dilakukan orang tuanya dulu padahal visi hidupnya adalah, "tidak mau jadi seperti mama."- "Tidak akan melakukan yang dilakukan papa."
Saya sungguh belajar banyak dari keganjilan-keganjilan logika ibu saya atas nenek saya itu. Saya mencoba menelusuri, seandainya protes-protes itu boleh kita sebut 'kebencian', dari manakah datangnya? Mengapa ia justru hadir kembali di titik yang tepat persis titik yang ingin dihindari. Mengapa ada kritik yang gagal menjadi autokritik?
Lalu saya mendapati bayang-bayang.
Dalam menilai orang lain, orang tua kita misalnya, ada bayang-bayang yang sering kali gagal kita kenali. Kita merasa melihat segalanya dengan jernih. Lalu dalam proses penerapan diri, ada permenungan yang tidak genep. Tapi karena sedari awal tidak kita tahu bayang-bayang itu, maka kita pun tidak merasa tidak genep dalam penjelmaan kembali itu. Kita merasa otomatis berhasil melakukan autokritik setelah berhasil mengkritik.
Banyak hal bayang-bayang itu. Ia bukan hanya soal jarak dan sudut pandang. Pertama, bahwa sebermula kita yang muda ini belum pernah punya pengalaman tua. Sementara yang tua, sudah pasti punya pengalaman muda. Kedua, bahwa sedasarnya, sudut pandang seseorang tidak akan pernah tersentuh persis dengan sudut pandang orang lain. Kita ini diri masing-masing. Maka bagaimanakah kita menjadi benar persis ketika menilai orang lain, merasa membaca kesalahan dan kebenarannya. Sementara, mataku adalah mataku, matamu adalah matamu. Lalu, ketiga, keempat, kelima..
Bayang-bayang itu juga soal waktu. Ada 'ketidaktahuan', yang selamanya menjadi rahasia dan kegaiban masa depan. Ia adalah kemungkinan-kemungkinan tidak terjangkau yang tidak pernah kita hormati. Emosi dan keinginan meledakkan kesombongan kita akan segala hal. Kita jadi lupa bahwa selalu ada yang rahasia dan mengejutkan. Kegaiban yang tidak kita hayati itu bisa menjelma bumerang bagi diri kita yang kurang mawas ini. Sejurus saja keyakinan kita membuncah dan bergema, "aku tidak akan meniru mama."
Padahal apalah kita ini dibanding bayang-bayang - yang rahasia dan gaib?
Lalu apa yang saya lakukan? Sampai hari ini, saya asyik mengumpulkan sudut pandang. Ada hal-hal yang tidak bisa dibaca nenek atas ibu saya. Ada hal-hal yang lupa disyukuri ibu pada nenek saya. Hal-hal itu berbalik, menjadi bumerang berantai yang mengancam saya. Ada tiga hal yang mungkin terjadi: saya ikut jadi korban bumerang itu, memutus rantainya, atau menangkap bumerangnya.
Orang tua kita, yang berakhir dengan (tanpa sadar) mengopi orang tuanya, adalah korban yang paling malang sebelum diri kita ini. Selalu. Selalu lebih malang. Sebab mereka terbukti termakan menjadi mata rantai. Kita yang masih muda ini masih punya kesempatan mengenalinya. Ada bayang-bayang: kemungkinan, ketidaktahuan pada ruang paling genap sekali pun.
Maka saya selalu iseng mengatakan bahwa saya masih seorang gadis kecil. Orang-orang menuduh saya, "kamu mau menolak jalannya waktu?" Saya katakan bahwa tentu saja saya akan menjadi tua. Tapi selalu saya tambahkan, "kalau sempat."
Komentar
Posting Komentar