Langsung ke konten utama

Papan Dadu

Seminggu seperti papan dadu. Seseorang menasehati saya dengan kalimat yang saya bikin sendiri. Seperti melihat dirimu memanggil namamu sendiri. Mengatakan bahwa semua pilihan tidak pernah mudah, sekalipun telah begitu jelas. Seperti mengajarimu mengeja lagi.
Ada orang-orang dari masa lalu muncul. Mereka seperti angka jam, 11, 10, 9, 8... menarik saya ke belakang. Bukan ke depan. Ke kiri, bukan ke kanan. Saya adalah jarumnya, tidak kuasa menunjuk arah. Lalu tanpa bisa menghindar, saya mengenali hal-hal yang masih sama dan yang telah berubah. Tapi segalanya tidak pernah titik awal. Tidak pernah. Seperti dalam kekalahan dadu, kau tidak pernah balik kaya lagi. Dalam kemiskinanmu ini, kau hanya punya kesempatan untuk menang, bukan mengambil kembali harta lamamu. Kemenanganmu hari ini bukan apologi, apalagi anulir. Ada selalu, kenyataan bahwa kau pernah kalah. Kau hari ini kalah. 
Saya tidak tahu kenapa kunjungan dari masa lalu ini terjadi saat saya justru harus mengambil langkah besar bagi masa depan. Saya pikir-pikir, mungkin Tuhan hendak menjadikannya semacam diorama yang mendukung optimisme saya, atau godaan. Ah, tentu godaan. Sebab masa lalu selalu kertas jebakan lalat. Sebenarnya ia terpisah dari hidanganmu, kenapa kamu masih saja terperangkap di situ?
Tapi soal papan dadu, saya tidak tahu, saya ini pemain, pion, dadu, taruhannya, papannya, atau apa. 

2018


Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...