Seminggu seperti papan dadu. Seseorang menasehati saya dengan kalimat yang saya bikin sendiri. Seperti melihat dirimu memanggil namamu sendiri. Mengatakan bahwa semua pilihan tidak pernah mudah, sekalipun telah begitu jelas. Seperti mengajarimu mengeja lagi.
Ada orang-orang dari masa lalu muncul. Mereka seperti angka jam, 11, 10, 9, 8... menarik saya ke belakang. Bukan ke depan. Ke kiri, bukan ke kanan. Saya adalah jarumnya, tidak kuasa menunjuk arah. Lalu tanpa bisa menghindar, saya mengenali hal-hal yang masih sama dan yang telah berubah. Tapi segalanya tidak pernah titik awal. Tidak pernah. Seperti dalam kekalahan dadu, kau tidak pernah balik kaya lagi. Dalam kemiskinanmu ini, kau hanya punya kesempatan untuk menang, bukan mengambil kembali harta lamamu. Kemenanganmu hari ini bukan apologi, apalagi anulir. Ada selalu, kenyataan bahwa kau pernah kalah. Kau hari ini kalah.
Saya tidak tahu kenapa kunjungan dari masa lalu ini terjadi saat saya justru harus mengambil langkah besar bagi masa depan. Saya pikir-pikir, mungkin Tuhan hendak menjadikannya semacam diorama yang mendukung optimisme saya, atau godaan. Ah, tentu godaan. Sebab masa lalu selalu kertas jebakan lalat. Sebenarnya ia terpisah dari hidanganmu, kenapa kamu masih saja terperangkap di situ?
Tapi soal papan dadu, saya tidak tahu, saya ini pemain, pion, dadu, taruhannya, papannya, atau apa.
2018
Komentar
Posting Komentar