Langsung ke konten utama

Sri Ayu yang Tidak Pernah Membunuh Kekasihnya Sendiri

Beberapa hari, gambar kisah putri duyung yang menatap kekasihnya dalam pertolongan tangan perempuan lain begitu menggoda saya. Tragis. Mungkin itu saatnya di mana ungkapan tangan kanan memberi tangan kiri jangan tahu benar-benar berlaku. Dalam banyak versi, putri duyung kita tidak sukses dalam cerita cintanya. Ia tidak mengakhiri hidup dengan jatuh ke lautan bersama pangeran dan membuat pangeran menyadari siapa penolong sejatinya. Tidak begitu.

Saya mencari beberapa referensi ilustrasi adegan putri duyung memegang belati pemberian saudara-saudara perempuannya yang bersedih. Dan dalam beragam versi akhir kisah, ada satu peristiwa yang tidak berubah: putri duyung kita tidak bisa membunuh kekasihnya sendiri. Semua ilustrasi yang saya temukan menunjukkan gambar putri duyung kita menguntit kamar tempat pangeran sedang tidur, dipeluk perempuan lain (Itu sulit, lho). Kesedihannya -atau kesedihan saya, terpantul di mata itu, di balik pintu.

Ya, Sri Ayu, apapun yang terjadi jangan membunuh kekasihmu sendiri. Yang terpenting adalah bahwa kekasihmu selamat, siapapun yang menyelamatkannya.

Sebisa mungkin saya juga tidak akan membunuh kekasih saya sendiri. Meskipun ia begitu kejam, membiarkan orang lain menolong dirinya sementara saya mati penasaran ingin dia membagi kesedihannya dan memanggil nama saya. Sehingga di waktu-waktu ke depan saya juga bisa melakukan yang sama, membagi kesedihan saya dan memanggil namanya. 

Misalnya sekarang ini, saya begitu terkejut dan lemas oleh virus meriang dan radang tenggorokan menjelang ulang tahun saya yang semoga akan jadi berharga. Tapi ini bukan hal lucu yang bisa kamu bagi dengan kekasihmu. Duh. Saya kangen sebuah pesta, limpahan hadiah, dan doa. Padahal saya sudah menulis dalam pesan saya buat diri saya sendiri: semoga bahagia, dan sehat sentosa.

Tapi, ya, begitu. Sri Ayu, apapun yang terjadi jangan membunuh kekasihmu sendiri. Yang terpenting adalah bahwa kekasihmu selamat, siapapun yang menyelamatkannya. Dan seterusnya, dan seterusnya. Dan seterusnya.




Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...