Langsung ke konten utama

Perahu Nelayan Pukul Tiga Pagi


Engkau laut, aku hanya kapal-kapal hantu
Perahu nelayan pukul tiga pagi
Menarik kembali ujung jala yang koyak

Burung laut hitam mengirim suara kegelisahan sepanjang dadamu
Memanggil dadaku karam kepadamu
Adakah kau dengar seorang bocah menangis
Menggendong boneka robek
Berjalan di pasir kerang - memandang kepergian
Atau kepulangan
Yang tak bisa ia cegah

Lumpur dan bau ikan mengeras di pundaknya
Kutarikan firasat buruk perempuan di kakinya
Kerang-kerang putih menanggalkan kelopak
Seperti mawar menanggalkan kelopak
Di akhir musim

Seperti kidung, di pusarnya tuhan menulis hayat
Mengekalkan yang telah dan hadir kembali
Tentang kota baru dalam mimpi seekor siput yang putus asa
Berabad-abad menyeret dunia di punggungnya

Kau bernama seperti patok-patok tanah pantai
Tangan angin memegangmu erat dan memilikimu
Adakah kau menamainya juga: bayangan
Yang mengiringi bayanganmu ke sisi bulan
Di puncak musim yang renggang
Menjaga waktu di mercusuar
Ingin sekali aku menjelma ranting pohon yang terdampar
Oleh ombak yang kacau dan tak peduli

Mengikuti cahaya matahari penuh harapan
Menanamkan anak-anaknya ke bumi
Seperti benih ke tanah
Seperti mani senggama

Dua puluh empat perahu menyebar
Dua puluh empat malaikat mengayuh papan panjang
-
Namun setiap pagi di sebuah kampung asap
Aku melukis dua belas perempuan
Menjatuhkan tirai bayangan di kamar - seperti mata
Meneteskan garam ke air laut

Lalu pulau-pulau pecah menyaksikan kata-kataku
Angin, akankah mendatangkanmu kembali
Lalu burung-burung menyambutku dengan iman yang penuh
Seolah tanganmu likat menyibak rimba basah
Yang menerima mayat-mayat pelayaran buangan ini
Dan menyimpannya seperti memeluk kekasih

2018

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...