Langsung ke konten utama

Menunggu Kemarau: Kokok Ayam Dini Hari

Seorang musisi menulis dalam lagunya, "pemberhentian susah di ramalkan, jangan sampai terlewat."
Barangkali dalam seminggu ini kita sedang memenuhi hari dengan perjalanan. Ramalan bintang saya mengabarkan ini adalah sebuah progres produktif. Kebetulan atau tidak, hal-hal menyita waktu dan tenaga membangunkan tidur kita seperti kokok ayam dini hari.
Di sebuah pemberhentian tidak terduga saya membeli sepuluh kilo apel dengan harga murah. Saya katakan pada diri saya, "berbahagialah, kamu punya banyak apel." Tapi sulit rasanya kalau kamu bangun tidur setelah jarak tempuh enam jam dari rumah, yang ada hanya kokok ayam dini hari.
Ya. Segalanya susah di ramalkan. Pemberhentian dan ramalan, dan perjalanan. Saya selipkan terima kasih buat seorang teman yang menemani perjalanan saya, yang tidak pernah bertanya alasan-alasan berlapis kenapa saya ingin ini ingin itu, ingin ke sana ingin ke sini. Kita berjalan saja. Toh segalanya sulit diramalkan.
Toh, saya tidak bisa menolak seekor ayam yang berkokok pada dini hari.
Ketika bangun dan mendengar kokok ayam dini hari hari ini, saya mendamaikan diri dengan puisi Abdul Hadi, Engkau Menunggu Kemarau, dinyanyikan oleh AriReda dengan manis. Tertulis dalam liriknya, di guesthouse engkau menunggu kemarau/ hari hampir malam/ membersihkan pelabuhan/... Saya punya banyak pertanyaan sebenarnya: apakah hari hampir malam yang membersihkan pelabuhan, mengapa, pelabuhan apakah, terdengar seperti sebuah tempat yang diharapkan menjadi rumah, tapi batal. Sebab, sejak awal, kita di guesthouse. Kita tamu. Pelabuhan cuma pemberhentian skala waktu.
Bahwa ...sebelum engkau berdiri pergi/ di langit lembayung terdengar suara awan/...
Suara awan, dalam kasus ini, kenapa terdengar seperti suara kokok ayam dini hari?
Anehnya, puisi tersebut berjudul Engkau Menunggu Kemarau. Saya enggan membayangkannya, kemarau yang belum ada itu, sampai puisi itu berakhir, ada di mana..:
...bahwa rawan sudah kau siapkan/ bahwa kesal sudah kau diamkan.
Mungkin sebenarnya bukan soal menunggu, tapi soal "yang susah diramalkan". Soal menyiapkan diri akan ancaman dan mendiamkan kesal sebab sudah terancam. Apapun kemarau, apapun yang ditunggu itu. Karenanya, meski saya sedang tidak berdaya, saya tetap berharap semua perjalanan akan berjalan dan berakhir dalam kebaikan. Segalanya susah diramalkan. Perjalanan siapapun, dengan siapapun.

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...