Langsung ke konten utama

"Sad Girl"

Dalam sebuah wawancara saya ditanya tentang apa yang saya tawarkan dalam puisi-puisi saya. Saya membatin selama dua detik: saya tidak punya tujuan. Lalu saya tertawa mengingat orang yang mengajari saya menulis pasti akan berdecak dan memincingkan matanya sebab berlaku sangat egois dan jujur begitu. Akhirnya saya jawab, saya mencoba berbagi sudut pandang.

Kadang saya merasa berada di lantai paling atas sebuah gedung, saya bisa melihat seluruhnya, orang-orang di bawah sana bersedih dan berbahagia. Saya merasa bisa menangkap semua itu dengan tepat dan dari sana saya mendapat lagi sesuatu yang lain. Saya menulisnya, sebisa saya, tapi orang-orang sulit mengerti.

Padahal saya ingin orang-orang mendapat apa yang saya dapat ketika saya menangkap sesuatu: orang-orang yang berbahagia, orang-orang yang bersedih, orang-orang yang ada di antara keduanya, orang-orang yang tidak di mana-mana. Saya ingin ada yang bisa dengan tepat melihat apa yang saya lihat dalam sebuah momen, terjadi, dari sebelah sini, saya ingin orang itu melihat seseorang di lantai paling atas sebuah gedung. Bahwa saya menangkap dari sudut yang lain. Bahwa dalam perjalanan momen-momen saya sering berhenti di sebuah titik di mana tidak ada seorang pun.

(Kenapa orang-orang tidak bisa memahami, ya Tuhan, semoga bukan karena mereka terlalu bodoh..)
*
Untuk menghibur diri malam ini saya membeli kado untuk ulang tahun saya sendiri. Novel Sad Girl dari Lang Leav yang sudah lama saya inginkan, tiba-tiba ada di sudut rak toko buku dengan sampul merah muda. Saya menulis pesan bagi diri saya sendiri untuk dibaca di malam ulang tahun: semoga bahagia. Sungguh memalukan, apa yang saya lakukan ini.

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...