Langsung ke konten utama

Catatan Saja

Di hari pertama setelah 24 tahun di dunia.

Besok hari raya. Kemarin ulang tahun saya yang tidak meriah. Beberapa orang terbaik dalam hidup saya tidak melupakannya, satu orang sepertinya tidak menyadarinya. Tapi saya adalah Sri Ayu yang tidak akan membunuh kekasihnya sendiri.

Melalui ulang tahun dalam keadaan yang kurang membahagiakan tentu tidak patut ditiru. Saya berusaha untuk pulih sebisanya tapi seperti yang sudah diramalkan, saya akan jatuh sakit sampai senin depan. Semalam saya menyadari banyak hal-hal biasa yang saya lakukan terlewat. Siang ini, setelah tidur singkat karena lemas dan dingin di telapak kaki, saya putuskan melakukan streching dengan gerakan yoga dasar yang saya comot dari internet. Saya pernah sering melakukannya. Entah kenapa jadi tidak lagi.

Setelah satu putaran kaki saya seperti kesetrum. Saya putuskan berhenti dan berniat melakukannya lagi besok. Saya kira saya harus lebih melatih diri bergerak dalam gerakan berguna. Seolah yang saya lakukan belakangan ini tidak berguna. Tapi mungkin ada benarnya.

Saya bersyukur telah melalui kemarin. Bahwa saya menghadiahi diri saya sendiri kado yang bagus. Dan bahwa saya kemudian mengusahakan diri tetap di titik yang paling mungkin, untuk bertaruh sebanyak mungkin, dari apa yang saya anggap jauh dan sulit. Bahwa mungkin saya meletakkan seluruh peluang gagal tepat di kelopak mata saya. Maka saya akan melakukannya dengan terpejam.

(Ah, saya begitu merindukan seseorang yang beberapa hari ini jadi asing. Saya berharap dia membacanya dan jadi menyesal. Dengan alasan apapun.)

Saya sudah berjanji pada seorang perempuan yang melabeli hubungan kami sebagai pialang pasar gelap: saya tidak akan kalah. Jadi saya harap semua orang juga begitu. Jangan kalah. Selamat mencintai saya.


Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...