Catatan setelah bom Surabaya
Dari sebuah event teater minggu lalu, saya memperoleh informasi propaganda Jepang selama tiga setengah tahun menjajah Indonesia. Di antara segala kejahatan yang tercatat, ada yang luput dibicarakan selama ini yaitu, bahwa Jepang mengajarkan orang-orang pribumi keseriusan dalam berseni, khususnya seni rupa. Selama tahun-tahun paling sulit dan sengsara, Jepang menghimpun orang-orang kita untuk diajarkan menggambar dan bicara lewat hubungan garis-garis dan warna.
Saat melihat bentuk figur karakter gambar kala itu saya seketika mengenali gaya menggambar kakek saya. Beliau seorang tentara angkatan laut, pernah bergabung dalam pasukan elit kapal selam. Saya mengenali figur-figur dan aktivitas keseharian yang diceritakan itu, kepalan tangan dan lekuk wajah yang keras. Wajah pekerja pribumi, yang dipaksa disiplin dan teguh untuk membangun negerinya sendiri.
Saya terpikir, mungkin dulu kita memang harus dipaksa sekeji dan sesengsara itu, demi jalur-jalur kereta api yang mendekatkan tanah Barat dan Timur Jawa, demi tanah sawah dan kebiasaan hidup bersih.
Demi mempersatukan yang jauh, dan berbeda; demi bisa menggambar, memahami garis dan warna-warna. Sebab nyatanya sampai hari ini garis dan warna-warna tidak pernah seutuhnya karib dengan kita.
Pagi tadi tiga bom meledak di tiga gereja di Surabaya. 45 garis tercerabut dari kertasnya. 13 warna menghilang dari dunia. Orang-orang ramai menyerukan ketakutan dan ketidaktakutan. Seperti seekor katak melompat dari batu humanisme ke sungai terorisme penuh kekerasan dan cinta tanah air yang keruh limbah digital. Saya mendongak ke langit, kutukan dan kebencian menggemuk di udara, baunya seperti borok anak SD.
Saya pernah borokan waktu SD, tapi saya tidak memamerkannya pada siapapun. Kenapa orang-orang membagikan borok mereka di facebook dan twitter? Saya tidak peduli itu terorisme atau bukan. Ada orang terluka, ada rumah yang dirusak, saya bersedih secara sosial. Bahwa lebih genting memanggil keprihatinan kemanusiaan kita timbang dipanasi oleh isu terorisme yang pasti cuma gitu-gitu aja.
Terorisme pasti cuma gitu-gitu aja. Tapi bersedihlah, seseorang sedang berusaha membunuh orang lain.
Masuk dalam ruang takut dan tidak takut adalah bukti bahwa kita sudah terjebak. Soal merasakan duka yang lain itu lebih esensif. Saya bersedih, bukan karena itu terorisme. Saya merasa perlu tidak perlu menyatakan bahwa saya tidak takut: saya tidak takut. Tapi saya tidak mau dijebak para teroris yang ingin saya terambing antara takut dan tidak takut. Saya bersedih, seperti dikhianati seorang pacar.
Bahwa, duh, Gusti, sorga dan neraka sepenuhnya urusan-Mu.
Saya ingin keluar rumah dan berkendara keliling Surabaya, tapi saya adalah seorang kekasih yang sedang patah hati. Sebab pacar saya berselingkuh dan meledakkan diri dengan orang lain. Saya baru saja menghirup lagi wangi nafasnya, mengenali dia di antara seluruh kota yang saya lalui kemarin. Saya terbangun di sebuah pagi dan orang-orang telah menjadi orang lain.
Semua orang hari ini tiba-tiba menjelma jadi orang lain. Saya limbung, kembali ke kasur dan memaksa diri terpejam. Saya memaksa pikiran saya membentuk gambar-gambar: ruang-ruang Surabaya, jalan yang saya lewati untuk berangkat kuliah, gereja tua di jalan Kepanjen, konser musik klasik di gereja Abdiel Trinitas, gereja kecil di sisi tambak sekolah menengah dulu, gereja Kristus Raja di Tambak Sari, segalanya baik-baik saja kemarin. Gereja-gereja itu tidak pernah asing. Gambar-gambar tanpa warna dalam kepala saya, seperti seorang Jepang menodongkan kuas, menyuruh saya membentuk negeri saya sendiri. Saya jatuh tertidur, tanpa mengenali satu figur pun.
Kakek saya yang mengajarkan gambar dan dongeng Abunawas itu, pasti akan cuma diam, duduk jongkok di depan TV tuanya, mendengar berita dari satu stasiun ke stasiun lain. Lalu diam-diam, selepas sembahyang isya, beliau akan menutup pintu kamar, membaca lagi catatan vandalnya di balik pintu: November 1990, 2 Februari 1994, Semeru meletus, 21 Mei 1998 Soeharto diganti, Desember 2004, tsunami Aceh setelah Natal, disusul Pangandaran 2006.
Sampai sekarang TV itu masih ada, jadi milik saya. Saya menonton laporan-laporan gambar Surabaya di sana. Tanpa Jepang, tanpa propaganda. Saya melihat begitu jelas, orang-orang menjelma bocah yang awam menandai makna garis dan warna.
Saya pernah membaca sekilas, hal-hal penting dan tidak penting kakek simpan di balik pintu. Mungkin saya tidak secerdas itu memahami apa yang penting dan tidak penting bagi beliau. Saya tidak pernah mengalami zaman Jepang. Tapi sedikit soal garis dan warna, saya bisa memastikan, seandainya beliau masih ada, seandainya, beliau akan berdzikir panjang, setelah isya, mencari ruang kosong dan menulis:
13 Mei 2018, tiga bom meledak di tiga gereja di Surabaya, tiga hari setelah kepulangan Isa ke sorga.
2018
Duh, kieu pajamanan kiwari, harénghéng ku déndéngéan.
BalasHapusByuh, nopo mawon tiyang niki wonten pundi-pundi
Hapus