Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2020

Siapakah kita saat membaca?

  Oleh Nanda Alifya Rahmah Dari sekian poin catatan selama dan pasca bincang-bincang bersama Bramantio, pertanyaan "apa saja yang saya baca selama ini" barangkali telah menjangkit kepala kita seumpama awan hitam di awal musim hujan. Pertanyaan itu menggugah sekaligus meresahkan. Sebab ia mendesak jawaban, tetapi menampakkan pula betapa jauh jalan yang mesti kita susuri untuk menjawabnya. Kita mesti putar balik, menyusur isi kepala kita sendiri. Berangkat dari 5 buku favoritnya, Bram bisa menjejaki riwayat bacanya paling penting setidaknya dimulai pada masa sekolah menengah pertama. Secara sadar. Merunut bagaimana apa-apa-yang-dibacanya-sebelum memengaruhi apa-apa-yang-dibacanya-kemudian. Maka dengan mudah kita tangkap bahwa bagi Bramantio kesadaran akan riwayat pembacaan itu penting. Pentingnya kesadaran tentang riwayat baca dan pengaruhnya bukan saja terletak pada keberhasilan seorang pembaca mengenali topik-topik apa saja yang "nyaman" bagi kepala, hati, dan jiwa...

Bercermin pada Coby: Sebuah Propaganda

  Untuk kelompok bajak lautku, Yusniar, Adnan, Adam, dan yang lain yang masih tercecer karena timeskip.   8 Oktober,  20 hari sebelum Hari Sumpah Pemuda, protes omnibus law seluruh Indonesia.   “Berpihak pada sebuah keputusan dengan menutup sebelah mata pada efek lapangan, jelas menunjukkan betapa sempit pertimbangan kita.” 1: Pemerintah mengesahkan RUU Cilaker, entah dengan motif utama apa, tapi pemutusan yang tidak terbuka jelas akan menimbulkan spekulasi. Poin-poin yang nyata dinilai berbagai pihak tidak adil, usaha musyawarah yang diputus, itu semua akan menciptakan rasa terjajah, dan pada akhirnya: protes. Ya Pemerintah, kenapa kayak Tenryuubito, kenapa mesti menciptakan situasi yang berpotensi besar ke arah protes massa? Sepertinya hal itu tidak dipertimbangkan. 2: Menyulut seruan protes, dengan –tentu saja- peluang anarkisme. Negara ini punya lebih banyak rakyat yang secara individu tidak bertanggung jawab akan dirinya sendiri dibanding sebaliknya,...

Pemberitahuan yang Dibisukan

Kenapa kemerdekaan ini tidak sampai kepadaku?  Sebuah alasan, beri aku sebuah alasan. Satu kalimat, satu kata, untuk melakukan hal yang belum kuketahui. Beri aku pertanda, seperti Neruda menangkap bau parfum daun-daun apel Bahaya yang mengancam melebihi keselamatanku sendiri, mengapa tak boleh aku mengabarkannya. Betapa tanganku berusaha menahan bayanganmu di cermin Jangan. Jangan keluar dari situ. Jangan menagih seluruh hatiku yang terlarang kuberikan.  Jangan. Jangan beranjak.  Sebentar aku melihat wajahku yang pemalu mengakui kefanaan meriah. Muslihat cahaya dan kegelapan. Tipuan ruang dan kekosongan! Seolah kau takluk- menjelma bayanganku sendiri Sebelum aku menemukan jawaban ke mana suara dan tangisan menuju. Sementara orang-orang menuntut di jalan-jalan: kebebasan bagi burung-burung yang keluar masuk, meninggalkan jejak bulunya di bantal dan meja makan. -- Ke mana kemerdekaan itu habis? Sebelum sekali lagi angin lewat di antara lengan dan dadaku - mengisinya dengan ...

Hopla